BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum
agraria di indonesia tidak dapat dilepaskan dari fakta-fakta sejarah mengenai
perkembangan hukum agraria diindonesia dimana negara indonesia pernah mengalai
penjajahan yang cukup lama, sehingga secara langsung mempengaruhi perkembangan
hukumnya. Ketika kaum Kolonial datang, mereka menaklukkan kaum feodal ditanah
yang akan mereka kuasai dengan kemampuan militer yang mereka miliki. Namun
dibeberapa tempat mereka tidak menggulingkan kekuasaan kaum raja dan bangsawan
feodal, mereka memanfaatkan raja dan bangsawan feodal tersebut sebagai
perantara mereka dengan rakyat untuk memungut hasil produksi petani dengan
berbagai ketentuan yang bersifat menindas. Jadi, kaum feodal yang sebelumnya
telah melakukan praktek-praktek pemungutan hasil produksi petani makin
diperkuat oleh kolonial untuk kepentingan kaum penjajah. Kaum feodal tentu saja
mau melakukannya karena dengan melakukan hal tersebut maka tidak dicopot
kekuasaannya. Namun sebaliknya, rakyat petani semakin bertambah bebannya dan
semakin menderita karena semakin diperas tenaga dan hasil produksinya.
Dengan
demikian, kaum kolonial tidak merombak sistem pemerintahan feodal saat itu tapi
mempertahankan sistem tersebut dengan memberikan kekuasaan kepada para bupati
dan raja untuk memungut hasil-hasil yang diminta pihak kolonial. Dengan begitu,
pola eksploitasi pada rakyat semakin intensif, karena rakyat petani harus
memenuhi permintaan kepentingan bupati (sebagai penguasa feodal) sendiri, di
satu pihak, dan kepentingan kolonial, di pihak lainnya.
Dalam
makalah ini, dipaparkan penjelasan tentang sejarah perkembangan hukum agraria
diindonesia dari masa kemasa sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA) tahun 1960.
B.
RUMUSAN MASALAH
Masalah adalah sesuatu hal yang
menimbulkan pernyataan yang mendorong untuk mencarikan jawabannya atau suatu
yang harus di pecahkan Poerwadarminta (1976:634)1.
______________________
1
Poerwadarminta, 1976 hal 634
selanjutnya Surachmad (1980 :3)2 juga mengatakan
bahwa masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk
memecahkannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan
masalah dalam paper ini adalah Bagaimanakah Sejarah Hukum agraria diindonesia.
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun
maksud dan tujuan penyusun membuat Paper ini adalah Agar dapat memahami
dan mengerti Bagaimanakah Sejarah dan perkembangan Hukum agraria di Indonesia.
D. METODE PENYUSUNAN
Metode
penyusunan yang digunakan dalam menyusun paper ini yaitu :
1.
Studi Kepustakaan
Merupakan
pengumpulan berbagai data dengan cara membaca, mengkaji dan mempelajari
buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan berkaitan dengan tema penyusunan paper.
2.
Bahan – bahan yang didapatkan melalui dunia
maya (Intenet).
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika
penulisan paper ini di bagi menjadi 4 bab, sebagai berikut :
BAB
I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan, terdiri atas latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB
II : TINJAUAN PUSTAKA, pada bab ini menguraikan sejumlah teori serta pendapat
berbagai terhadap fokus penulisan yang akan dilakukan.
BAB
III : PEMBAHASAN , Pada bab ini diuraikan sekilas mengenai pengertian dari
agraria dan hukum agraria serta menguraikan sumber sumber hukun agraria
tersebut dan menceritakan asal mula atau sejarah lahirnya hukum agraria
diindonesia.
BAB
IV : PENUTUP, Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dari materi sejarah
hukum agraria dari Paper yang di buat ini.
_________________
2
Surachmad, 1980 hal 3
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian
1. Pengertian
Agraria
Kata
agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan
bahasa lainnya. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros
(Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah
atau sebidang tanah, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk
pertanian. Menurut kamus besar Bahasa
Indonesia, agrarian berarti berarti urusan pertanian atau tanah pertanian dan
urusan pemilikan tanah.
Menurut
Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang
ada di dalam dan di atasnya.3
Boedi
Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria
dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria.4
Pertama
dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti
tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Agraria
berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.
Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu diartikan dengan
tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan
seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum
yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih
meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia sebutan agraria di
lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah
pertanian maupun non pertanian. Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2
ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana
lazimnya disebut sumber daya alam.
___________________
3 Kamus Hukum yang dikutip dalam buku
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian
Komperhensif, Jakarta: Kencana, 2012, hlm. 1
4 Boedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya Jilid 1, Jakarta: Djambatan, cetakan ke-11
(edisi revisi), 2007, hlm. 5
Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA
memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu
kelompok berbagai hukum yang
mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya
alam yang meliputi :
- Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;
- Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
air;
- Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang
pokok pertambangan;
- Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
- Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas
penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
- Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan
atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh
Pasal 48 UUPA.
Dari
uraian pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan pengertian agraria
dengan membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan pengertian agraria
dalam arti sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang
disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti fisik,
melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang
dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam arti luas.
2.
Pengertian Hukum Agraria
Istilah
hukum identik dengan istilah law dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Perancis
adalah droit, dalam bahasa Jerman dan belanda adalah Recht, atau dirito dalam
bahasa Italia. Menurut Ensiklopedia Indonesia, hukum merupakan rangkaian
kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik tertulis maupun yang tidak
tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan-hubungan antara para anggota
masyarakat.
Von Savigny melihat hukum dari
perspektif sejarah adanya hukum. Menurutnya, “Das Recht wird nich gemacht, es ist und wird mit dem Volke” (hukum
tidak dibuat, ia ada dan menyatu dengan bangsa).
Artinya, hukum berakar pada sejarah manusia sehingga dihidupkan oleh keadaan,
keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat bangsa. Padmo Wahyono lebih melihat
hukum sebagai sarana (tool) dengan membatasi hukum sebagai alat atau sarana
untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan
sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial.
Menurut
Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria (Agrarisch recht) adalah keseluruhan
ketentuan yang hukum perdata, tata negara (Staatsrecht), tata usaha negara
(Administratifrecht), yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan
ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang
bersumber pada hubungan tersebut.
Prof.
E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah mengenai bagian dari
hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang,
bumi, air dan ruang angkasa yang melibatakan pejabat yang bertugas mengurus
masalah agraria.
Sedangkan
pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan,
yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang
dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah
permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi
tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam
batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.
Mengacu
pada beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum dibuat dalam
rangka mengendalikan tingkah laku manusia sekaligus melindungi kepentingan
manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial yang hidup
dalam suatu masyarakat. Pembuatan hukum harus bermuara pada terciptanya
kebaikan bersama dan terwujudnya keadilan dalam masyarakat.
Beberapa
pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum
agraria, Antara lain:
1. Hukum
Tanah.
Dalam
pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi
dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini bukan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu
aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam
hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi
serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun
demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek
kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya
adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan
dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
2. Hak
Atas Tanah
Yang
dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah
diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki
hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2. Hak menguasai negara atas tanah;
3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;
4. Hak-hak perseorangan, meliputi :
a. Hak-hak atas tanah, meliputi :
Hak
milik atas; Hak guna usaha; Hak guna bangunan; Hak pakai; Hak sewa; Hak membuka
tanah; Hak memungut hasil hutan; Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak
tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 (UUPA).
b. Wakaf tanah hak milik;
c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);
d. Hak milik atas satuan rumah susun.
Hukum
tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum
konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara
sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu
sistem.
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan
atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a) Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga
hukum;
Hak
penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan
hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.
b) Hak penguasaan atas tanah sebagai
hubungan hukum yang konkrit;
Hak
penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai
obyeknya dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang
haknya.
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum
antara pemegang hak dengan hak atas
tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas
pemisahan horisontal dan asas pelekatan vertikal.
Asas
pemisahan horisontal yaitu suatu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dengan
memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut.
Asas
pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segala benda
yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.
Asas
pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar belakang
peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam
pengaturan hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas
pelekatan vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum
pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata.
Dalam
bukunya, Djuhaendah Hasan5 mengemukakan
bahwa sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan
sesuai dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa
sebelum adanya kesatuan hukum dalam hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA.
___________________
5 Djuhaendah Hasan, 1996. Lembaga jaminan kebendaan bagintanah dan
benda lain yang melekat
pada tanah dalam konsepsi penerapan
asas pemisahan horizontal, Jakarta: Citra Aditya bakti, hlm.35
Sejak
berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air
serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali tentang hipotik. Dengan
demikian pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan
hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku
yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5 UUPA).
3. Hukum
Agraria Dalam Tata Hukum Indonesia
Menurut UUPA Dengan lahirnya UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
a. Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
b. Meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
c. Meletakkan
dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
4. Sumber Hukum Agraria.
a. Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di mana dalam Pasal 33 ayat (3) ditentukan :
“Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b. Undang-undang Pokok Agraria.
Undang-undang
ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam
Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara nomor 2043.
c. Peraturan
perundang-undangan di bidang agraria :
1. Peraturan pelaksanaan UUPA
2.
Peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam
praktik.
d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu
berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan, masih berlaku.
5. Sumber Hukum Tanah Indonesia
Sumber hukum tanah Indonesia, yang lebih
identik dikenal pada saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status
tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan
penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang.
Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan hak-hak
lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan riwayat tanah dari
kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan pencatatan, dan peralihan
tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini. Sumber
Hukum Tanah Indonesia dapat dikelompokkan dalam:
1. Hukum Tanah Adat
a. Hukum
tanah adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada
zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945,
tanpa bukti kepemilikan secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya pengakuan.
b. Hukum
tanah adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman
sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti autentik berupa girik,
petuk pajak, pipil, hak agrarisehe eigendom,
milik yasan, hak atas druwe, atau hak atas druwe desa, pesini, Grant
Sultan, landerijenbezitrecht, altijdciurente erpacht, hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa
ahli waris, akta peralihan hak, dan surat segel di bawah tangan, dan bahkan ada
yang memperoleh sertifikatserta surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia),
dan hak-hak lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta
masih diakui secara internal maupun eksternal.
2. Kebiasaan
3. Tanah-tanah Swapraja
4. Tanah Partikelir
5. Tanah Negara
a.
tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yang sudah diwakafkan.
b.
tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak
menguasai dari negara kepada pemegang haknya.
c.
tanah-tanah hak ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum
adat teritorial dengan hak ulayat.
d.
tanah-tanah kaum, yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat
geneologis.
e.
tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan
Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada hakikatnya juga
merupakan pelimpahan sebagian kewenangan hak menguasai negara.
f.
tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang bukan
tanah hak, bukan wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah hak ulayat,
bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan. Tanah-tanah
ini, tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh negara untuk
singkatnya disebut tanah negara.
6. Tanah Garapan
7. Hukum Tanah Belanda
8. Hukum Tanah Jepang
9. Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan
Milik Belanda
10. Penguasaan
Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Negara Belanda Lazimnya Dikenal dengan
Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda Milik Belanda (P3MB).
11. Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren
Besluit (VB)
12. Tanah Bondo Deso
13. Tanah Bengkok
14. Tanah Wedi Kengser
15. Tanah Kelenggahan
16. Tanah Pekulen
17. Tanah Res Extra Commercium
18. Tanah Absentee
19. Tanah Oncoran dan Tanah Bukan Oncoran
BAB
III
PEMBAHASAN
HUKUM AGRARIA
1. UNDANG-
UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA) 1960
Setelah
15 tahun Indonesia merdeka maka Pada tanggal 24 September 1960, rancangan
Undang Undang yang telah disetujui oleh DPR-GR
disahkan oleh Presiden menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menurut diktumnya yang ke 5 dapat
disebut, dan selanjutnya memang lebih terkenal, sebagai Undamg-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA bukan proses yang pendek. Karena setelah
Indonesia merdeka, sejak awal sebenarnya pemerintah telah mulai memperhatikan
masalah agraria. Mulai Panitya Agraria Yogya (1948), Panitya Jakarta (1951),
Panitya Suwahjo(1956), Rancangan Soenarjo(1958), dan akhirnya Rancangan
Sadjarwo(1960). Lahirnya UUPA-1960, yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, No.56 tahun 1960 (yang dikenal sebagai Undang-Undang
³Landreform´) sebenarnya merupakan hasil dari usaha untuk meletakkan dasar
strategi pembangunan seperti yang dianut juga oleh berbagai Negara Asia pada
masa awal sesudah Perang Dunia kedua (Jepang, Korea, Tiwan, India, Iran, dan
lain-lain). Namun dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun setelah Indonesia
merdeka, kondisi social politik serta kurangnya dana memang tidak memungkinkan
untuk melaksanakan pembangunan ekonomi secara teratur. Demikian pula program
Landreform mengalami hambatan besar.
Sesungguhnya,
semangat dan jiwa UUPA pada hakekatnya bersifat kerakyatan, populistik (dalam
arti komunistik, sekaligus bukan kapitalistik). Kerangka UUPA itu disusun dalam
kondisi yang ada saat itu. Sebagai sebuah Undang-Undang yang berisi
peraturan-peraturan dasar. diperlukan penjabaran lebh lanjut. Namun, sebagian
besar hal itu belum sempat tergarap keburu terjadi pergantian pemerintah dari
yang lama ke pemerintahan Orde Baru yang mengambil dasar keebijakanyang sama
sekali berbeda.
1a. Apa saja isi UUPA
Dengan berlakunya UUPA, berarti telah dicabut segala
peraturan hukum agraria kolonial yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu:
1.
"Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam
pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie"
(Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
2.
"Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit
" (Staatsblad 1870 No. 118); "Algemene Domienverklaring"
tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A; "Domienverklaring untuk
Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f;
"Domeinverklaring untuk
keresidenan
Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55;
"Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van
Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
3. Koninklijk
Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan
pelaksanaannya;
4. Buku ke-II
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini;
Salah satu dasar pertimbangan dalam merumuskan UUPA
ini adalah bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari
pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang
ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan
negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua
tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Sebagai implementasi dari ketentuan dalam Pasal 33
ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara sebagai penguasa
bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia, maka dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA telah
ditentukan bahwa hak menguasai dari negara yang dimaksud adalah memberi
wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Adapun tujuan
dalam pembentukan UUPA ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3), yakni bahwa
wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka
berdaulat, adil dan makmur. Untuk menunjukkan kepemihakan terhadap rakyat dalam
pengaturan UUPA ini, dapat dilihat dalam Pasal 11 dan 13. Dari berbagai
ketentuan dasar tersebut, selanjutnya UUPA juga menentukan mengenai hak-hak
masyarakat atas tanah yang dapat dibedakan menjadi:
a. Hak milik
(Pasal 20-27)
b. Hak guna
usaha (Pasal 28-34)
c. Hak guna
bangunan (Pasal 35-40)
d. Hak pakai
(Pasal 41-43)
e. Hak sewa
untuk bangunan (Pasal 44-45)
f. Hak membuka
tanah dan memungut hasil hutan (Pasal 46)
g. Hak-hak
atas tanah yang bersifat sementara (Pasal 53) yakni hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.
h. Hak-hak
lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Selain hak-hak yang disebutkan tersebut,terdapat
hak-hak atas bagian lain dari tanah yakni terdiri dari hak guna air,
pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47) serta hak guna ruang angkasa
(Pasal 48).Dengan pemberlakuan UUPA tersebut pemerintah mulai menata pembagian
dan penguasaan struktur kepemilikan tanah Indonesia karena selama masa kolonial
pola kepemilikan masyarakat atas tanah sangat tidak adil dan tidak teratur. Untuk
menjalankan suatu redistribusi kepemilikan tanah, pemerintah membuat sebuah
UndangUndang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang
disebut sebagai Undang-Undang Landreform Indonesia. Sejak program ini berjalan
pemerintah berhasil mendistribusikan sekitar 800.000 hektar tanah kepada 850.000
kepala keluarga.6
____________________
6 Elza Syarief, Op.Cit.,
hlm.121
Mengingat kekhususan dari perkara-perkara yang
terkait dengan program tersebut, pemerintah Soekarno membentuk badan peradilan
tersendiri yaitu Pengadilan Landreform dengan dasar pembentukan Undang-Undang
No.21 Tahun 1964.7 Namun
kegiatan landreform ini tidak berlangsung lama seiring bergantinya pemerintahan
dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1965. Bahkan Pengadilan Landreform pun
akhirnya dihapuskan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan
Pengadilan Landreform. Pemerintah baru ini mempunyai kebijakan yang sama sekali
lain, sehingga untuk jangka waktu yang cukup lama UUPA masuk peti es, sedangkan
kebutuhan agraria di sektor lain mendesak, maka lahirlah pada masa awal orde
baru berbagai undang-undang pokok lain yang kemudian membuat tumpang tindih dan
rancunya masalah pertanahan.8
1b.
Bagaimana Proses terbentuknya UUPA
Selama masa penjajahan, feodalisme dan
kolonialisme membuat rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan.
Kemiskinan dan ketertindasan itu menjadi daya dorong yang melahirkan suatu
gagasan dan gerakan (nasionalisme) kemerdekaan di Indonesia untuk menyingkirkan
unsur-unsur kolonial Hindia Belanda yang terdiri dari gabungan kepentingan kaum
feodal dan kaum kapitalis asing. Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa
peraturan perundang-undangan di bidang agraria yang dibuat oleh pemerintah
jajahan, baik Belanda maupun Inggris sangat tidak berpihak kepada rakyat
Indonesia.
Keadaan
darurat akibat suasana perebutan kekuasaan antara pemerintah lama dengan
pemerintah baru menyebabkan perubahan tatanan lama dengan tatanan masyarakat
baru tidak dapat dilakukan dengan segera. Kelemahan ini ditutupi oleh
pemerintah dengan pernyataan dalam Undang-Undang Dasar pada Pasal 2 aturan
peralihan bahwa: “Sepanjang badan kekuasaan dan peraturan-peraturan belum
diganti dengan yang baru masih tetap berlaku.” Karenanya, sistem hukum
pemerintah kolonial masih tetap digunakan sebagai dasar-dasar perilaku
masyarakat, termasuk juga undang-undang agraria. Keadaan ini sangat tidak
disukai oleh kalangan ahli hukum jaman itu. Mereka menuntut diadakannya suatu
perubahan dan perombakan seluruh tata hukum masyarakat kolonial dan perombakan struktur
sosial ekonominya.
___________________
7 Elza Syarief, Op.Cit.,
hlm.167
8 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit.,
hlm.86-87
Setelah
sekitar 15 tahun Indonesia merdeka barulah lahir UU No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kelahiran UU No. 5 Tahun 1960 sebelumnya
telah melalui proses yang panjang, yaitu
dimulai dengan didirikannya panitia Yogya pada tahun 1948; panitia Jakarta
(1951), panitia Soewahjo (1956), rancangan Soenario (1958), dan yang terakhir
rancangan Soedjarwo (1960). Adapun penjelasan proses-prosesnya sebagai berikut:
a) Panitia Yogya (1948)
Panitia
ini didirikan pada tanggal 12 Mei 1948 dengan surat penetapan presiden Soekarno
No 16 yang mana panitia ini terkenal dengan sebutan “Panitia Agraria Yogya” (PAY)
dan diketuai oleh Sarmin Reksodihardjo. Tugas yang diemban oleh panitia ini
adalah mengembangkan pemikiran-pemikiran untuk sampai kepada usulan-usulan
dalam rangka menyusun hukum agraria baru pengganti hukum kolonial yang berlaku
di Indonesia sejak 1970. Panitia ini beranggotakan pejabat utusan dari
kementrian dan jawatan-jawatan, wakil organiisasi-organisasi petani yang juga
anggota KNIP, wakil dari serikat buruh perkebunan dan ahli-ahli hukum,
khususnya ahli hukum adat. PAY hanya dapat menghasilkan karyanya dalam sebuah
laporan yang disampaikan kepada presiden pada tanggal 03 Februari 1950. Dan
pada akhirnya PAY dibubarkan pada tanggal 09 Maret 1951 oleh presiden atas
dasar pertimbangan berpindahnya ibu kota negara ke Jakarta dan agresi militer
Belanda II. Selanjutnya tugas dan amanat dilanjutkan oleh Panitia Agraria
Jakarta (PAJ).
b) Panitia Jakarta (1951)
Panitia
ini juga diketuai oleh Sarimen Reksodihardjo, namun dalam perjalanannya sempat
diganti oleh Singgih Praptodihardjo. Panitia jakarta ini, selain mengembangkan
gagasan Panitian Yogya,juga menghasilkan usulan-usulan baru adapun
usulan-uasulan baru tersebut adalah: (a) dianggap perlu adanya penetapan batas
luas maxsimum dan batas minimum; (b)yang dapat memiliki tanah untuk usaha kecil
hanya WNI; (c) pengakuan hak rakyat atas undang-undang. Selanjutnya, PAJ ini
juga dibubarkan karena dianggap tidak mampu menyusun RUU.[14]
c) Panitia Soewahjo (1956)
Panitia
ini dibentuk setelah Indonesia selesai melakukan Pemilu 1955, bertepatan dengan
terbentuknya kabinet baru hasil Pemilu tersebut. Diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo yang beranggotakan pejabat-pejabat pebagai kementrian jawatan,
ahli-ahli hukum adat, dan wakil-wakil organisasi petani. Mandat utama yang
diemban oleh panitia ini adalah menyusun secara kongkret Rancangan
Undang-Undang (RUU) Agraria Nasional, setelah sebelumnya terdapat berbagai
masukan dari panitia sebelumnya. Dasar acuannya adalah pasal 26, 37, dan 38
dari Undang-Undang Dasar sementara (UUDS 1950). Namun pada tanggal 6 Februari
tahun 1957, panitia ini berhasil menyusun RUU, yang memuat antara lain
butir-butir penting berikut ini: (a) asas domein dihapuskan diganti dengan asas
“hak menguasai oleh negara”, sesuai dengan kententuan pasal 38 ayat (3) UUDS;
(b) asas bahwa tanah pertanian dikerjarkan dan diusahakan sendiri oleh
pemiliknya, tetapi rancangan ini belum sempat disampaikan kepada DPR. Dengan
demikian, pada tahun ini pula panitia ini dibubarkan karena tugas-tugasnya
telah selesai.
Panitia
Soenario (1959)
Dengan
beberapa perubahan, sistematika dan perumusan sejumlah pasal, maka rancangan
Panitia Soewahjo terebut dijadikan dokumen yang dikenal sebagai Rancangan
Soenario. Rancangan ini diajukan oleh Menteri Agraria Soenario kepada Dewan
Menteri pada 14 Maret 1958. Rancangan ini disetujui oleh Dewan Menteri pada
sidangnya yang ke-94 pada 1 April 1958, untuk selanjutnya diajukan kepada DPR
dengan Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No.1307/HK.
Pembahasan
di DPR dilakukan dalam beberapa tahap. Jawaban terhadap pemandangan umum DPR
terhadap Rancangan Soenardjo ini diberikan oleh Menteri Agraria Soenario, pada
sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958. Selanjutnya, diputuskan bahwa DPR
memandang perlu mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. DPR membentuk
panitia adhoc yang diketuai oleh AM. Tambunan. Panitia adhoc ini banyak
memperoleh masukan dari Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada (yang diketuai
oleh Prof. Notonegoro) dan ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro. Namun,
pembicaraan sidang pleno selanjutnya menjadi tertunda-tunda.
Sehubungan
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tentang berlakunya kembali UUD 1945, maka
Rancangan Undang Undang Pokok Agraria Soenario, yang memakai dasar UUDS,
ditarik kembali dengan surat pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960
No.1532/HK1960.
Setelah
disesuaikan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan Manifesto politik Indonesia
(yaitu pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959), dalam bentuk yang lebih
sempurna dan lengkap diajukan Rancangan Undang Undang Pokok Agraria yang baru
oleh Menteri Agraria Sadjarwo. “Rancangan Sadjarwo” itu disetujui oleh Kabinet
Inti dalam sidangnya pada 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet-Pleno dalam sidangnya
pada 1 Agustus 1960. Dengan Amanat Presiden tanggal 1 agustus 1960
No.2584/HK/60 rancangan tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR).
Setelah
selesai dilakukan pemeriksaan pendahuluan, pembahasan di sidang-sidang komisi
yang bersifat tertutup, pemandangan umum, sidang-pleno, pada 14 September 1960
dengan suara bulat DPR-GR menerima baik rancangan UUPA itu. Semua
golongan di DPR-GR, baik Golongan Nasionalis, Golongan Islam, Golongan Komunis,
dan Golongan Karya, menyetujuinya.
1c. Perkembangan undang-undang
Agraria paska terbentuknya UUPA
Belum
sampai terlaksana sepenuhnya apa yang diprogramkan dalam Reformasi Agraria pada
masa Orde Lama, terjadi tragedi nasional dalam tahun 1965, yang melahirkan Orde
Baru. Penguasa Orde Baru mewarisi situasi nasional dalam keadaan perekonomiaan
Negara yang menyedihkan dan konstelasi politik yang dinilai sebagai
penyimpangan dasar dari sila-sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ciri
kebijakan pemerintah Orde Baru ditandai oleh dua hal pokok antara lain:
Pertama
: Secara umum, strategi pembanguannya mengandalkan kepada bantuan, hutang, dan
investasi dari luar negeri, dan bertumpu kepada ‘yang besar´(betting on the
strong), tidak berbasis pada potensi rakyat.
Kedua
: Khusus dalam hal kebijakan masalah Agraria, disadari atau tidak oleh para
perumus kebijakan pada masa awal Orde Baru itu, Indonesia mengambil jalan apa
yang sekarang dikenal sebagai By-pass
Approach, atau pendekatan jalan pintas. Alur pemikiran pendekatan ini adalah
sebagai berikut :reforma agraria umumnya lahir sebagai respon terhadap suatu
stuktur agraria yang terasa tidak adil, yang pada gilirannya berpotensi bagi
terjadinya konflik agraria. Untuk menangani konflik agraria, orang harus
memahami dulu apa maknanya. Penganut pendekatan jalan pintas berpandangan bahwa
(sebagai asumsi dasar) makna konflik agraria adalah masalah pangan.
Karena
itu, buat apa susah susah melakukan reforma agraria? Kita tangani saja secara
langsung masalah pangan. Kebetulan lahirnya Orde Baru bersamaan waktunya dengan
Revolusi Hijau di Asia. Maka diambillah jalan pintas, mengusahakan tercapainya
swasembada pangan melalui Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria. Swasembada
pangan memang pernah dicapai, namun ternyata konflik agraria bukannya lenyap
melainkan justru terjadi dimana-mana. Salah satu produk hukum pertama Penguasa
Orde Baru adalah Undang-Undang Nomor 5Thun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kehutanan. Dalam praktek pelaksanaan nya Undang - Undang tersebut juga
menimbulkan kenyataan perlakuan yang tidak adil pada masyarakat hukum adat dan
warganya, yang tanah ulayatnya diberikan dengan Hak Pengusahaan Hutan kepada
pengusaha. (bertentangan dengan UUPA).
Ketentuan-ketentuan
landreform, biarpun formal tidak dicabut selama Era Orde Baru tidak tampak
dilaksanakan, dengan segala akibatnya dalam penguasaan tanah-tanah pertanian,
baik yang mengenai batas luas maupun lokasinya. Biarpun kebijakan pembangunan
dan pelaksanaannya berbeda dengan semangat yang melandasi UUPA, tetapi
undang-undang tersebut dan peraturan-peraturan pelaksanaannya selama Orde Baru
masih dapat memberikan dukungan legal yang diperlukan tanpa mengalami perubahan
formal substansinya.
Untuk menarik minat para investor, pemerintah mulai
membuat beberapa regulasi untuk membuka peluang eksplorasi tanah dan sumber daya
alam di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memikat investor asing, tahun
1967 Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) diberlakukan, selanjutnya
lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kehutanan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan serta berbagai undang-undang sektoral lain tentang minyakgas dan
pengairan.9
Kebijakan pemerintah orde baru ini lebih fokus hanya
kepada pembangunan dengan penguasaan tanah secara besar-besaran oleh negara
untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh para investor yang bermodal
besar,namun hakhak dari masyarakat atas tanah jadi terlupakan. Ternyata
undang-undang tersebut tidak menjadikan UUPA sebagai basisnya,
regulasi-regulasi ini pun tumpeng tindih dan inkonsisten satu sama lain.10
Dengan makin
rumitnya masalah pertanahan dan makin besarnya keperluan akan ketertiban di
dalam pengelolaan pertanahan, makin dirasakan keperluan akan adanya peraturan
pelaksanaan UUPA yang menerapkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak atas
tanah. Sebagai hak atas tanah yang masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu
tertentu (hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai), hak-hak tersebut
memerlukan kejelasan mengenai beberapa hal antara lain mengenai persyaratan
perolehannya, kewenangan dan kewajiban pemegangnya, dan status tanah dan
benda-benda di atasnya sesudah hak itu habis jangka waktunya.
__________________
9 Elza Syarief, Op.Cit., hlm.123
10 Elza Syarief, Op.Cit., hlm.123
Kejelasan itu
sangat diperlukan untuk memberikan beberapa kepastian hukum, baik kepada
pemegang hak, kepada pemerintah sebagai pelaksana UUPA, maupun kepada pihak
ketiga.11
Beberapa peraturan pun mulai dibentuk untuk mengatur pelaksanaan
perundang-undangan tentang pertanahan sebagai objek dasar agraria seperti Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Perolehan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan
BPN No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan
Kegiatan Pendaftaran Tanah, dan sebagainya. Perjalanan UUPA selanjutnya terus
diiringi dengan penerbitan perundang-undangan yang merupakan perluasan dari
urusan keagrariaan di Indonesia, antara lain:
1. Terkait pertanahan.
a. Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya,
b. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
c. Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas UndangUndang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan,
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
2. Terkait pertanian
a) Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
3. Terkait perkebunan
a) Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan,
_______________
11 Penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Paaki Atas Tanah
4. Terkait perikanan
a) Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia,
b) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UndangUndang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
5. Terkait pertambangan
a. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
c. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara,
6. Terkait kehutanan
a. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan,
7. Terkait pembangunan
a. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Permukiman,
b. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
c. Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara
1d. Masa Reformasi
Orde
Reformasi tampak membawa perombakan yang asasi dalam kebijakan pembangunan
nasional di bidang ekonomi, sebagai yang ditetapkan dalam kebijakan pembangunan
nasional di bidang ekonomi, sebagai yang ditetapkan dalam TAAP MPR Nomor
X/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang berbeda
benar dengan kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru. TAP MPR tersebut
ditetapkan atas dasar pertimbangan, bahwa pelaksanaan Demokrasi Ekonomi,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945 belum terwujud. Dinyatakan dalam
TAPMPR tersebut, bahwa politik ekonomi mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan
pembangunan ekonomi nasional sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip dasar
Demokrasi Ekonomi, yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak, untuk sebesar
besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945.
Politik Ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional,
agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya, serta terbentuk keterkaitan dan
kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha
kecil, menengah dan koperasi, usaha besar swasta dan Badan Usaha Milik Negara,
yang saling memperkuat untuk mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan efisiensi
nasional yang berdaya saing tinggi. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan
sumber daya alam lainnya, harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan
segala bentuk penguasaan dan kepemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan
ekonomi usaha kecil, menengah, kopersi, serta masyarakat luas. Tanah sebagai
basis usaha pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian
rakyat, yang mampu melibatkan serta memberi sebesar besarnya kemakmuaran bagi
usaha kecil, menengah, dam koperasi. Demikian garis besar kebijakan pembangunan
bidang ekonomi Orde Reformasi, yang berbeda benar dengan kebijakan Penguasa
Orde Baru, tetapi sejalan dengan semangat yang terkandung dalam UUPA, sebagai
yang dikemukakan di atas. Kebijakan Orde Reformasi tentang keberpihakan pada
rakyat banyak, khususnya usaha kecil menengah dan koperasi. Tanpa mengabaikan
peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara.
Kebijakan
di bidang ekonomi sebagaimana yang dikemukakan di atas kiranya sesuai dengan
semangat yang melandasi Hukum Tanah yang ada sekarang, yang konsepsi, asas-asas
dan ketentuan-ketentuan pokoknya dituangkan dalam UUPA. Maka reformasi di
bidang Hukum Tanah yang perlu diadakan, bukan merupakan kegiatan perombakan,
melainkan penyempurnaan lembaga dan ketentuan-ketentuanya, hingga bisa
memberikan dukungan legal dan substansial yang lebih mantap bagi terwujudnya
tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan ekonomi baru ,yang kembali kepada
pengutamaan kepentingan rakyat banyak.Dalam rangka mewujudkan tujuan kebijakan
Orde Reformasi di atas,penyempurnaan yangdimaksud yaitu,antara lain berupa
penyelesaian pembentukan undang-undang yang mengatur Hak Milik atas tanah,
penegasan dan pemasyarakatan asas-asas dan tata cara perolehan tanah untuk
berbagai keperluan pembangunan, pengaturan penanganan tanah, pembatasan
pemilikan tanah non pertanian, penyempurnaan ketentuan mengenai pembardayaan
tanah-tanah terlantar, penyesuaian ketentuan-ketentuan landeform dengan
perkembangan keadaan dan kebutuhan pembangunan serta pengaturan kembali
pembagian kewenangan di bidang pertanahan dalam rangka dekonsentrasi dan
medebewind.
2.
UNDANG-UNDANG
AGRARIA MASA 1945 SAMPAI TERBENTUKNYA UUPA TAHUN 1960.
Diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas
nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di
tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakat sudah menjadi
hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki
tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak
pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah
mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal
berikut :
1.
Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan
tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya tanah
perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri
luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan
dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki
rakyat seluas ± 80.000 Ha.
2.
Pendudukan tanah
perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan
menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi
negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan
yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah
pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
3.
Pemakian tanah-tanah
perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan akan
menimbulkan bahaya erosi dan penyerapan air.
4. Pemakaian
tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan
yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk
itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang :
Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan
diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :
1.
Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala
sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik
perkebunan dengan rakyat/penggarap;
2. Tahap kedua; apabila perundingan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka
penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan
sendiri dengan memperhatikan :
a.
Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan
yangbersangkutan;
b.
Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.
Agar
pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka
diatur ketentuan sebagai berikut :
1. Kemungkinan
pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik
sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya
penyelesaian;
2. Ancaman
hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
3. Ancaman
hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih
terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan;
4. Ketentuan
tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk
mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah
megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang
berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain
ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah
telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang :
Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan
Nasionalisasi.
2.
Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap
Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3.
Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan
Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian
tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.
Dalam bidang keagrariaan selama masa penjajahan
terdapat dualisme hukum agraria yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang
melahirkan tanah hak milik adat, tanah ulayat, tanah yayasan, tanah golongan
dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat (kolonial) yang melahirkan tanah
hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal, tanah hak erfpacht, tanah hak
gebruik (hak pakai),
dan sebagainya.12 Terlepas dari penjajahan Jepang
(1945), Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Para pemimpin bangsa mulai
memikirkan untuk melakukan pembangunan hukum baru yang terlepas dari ketidakadilan
hukum colonial termasuk hukum agraria kolonial. Pengaturan hukum agraria
menjadi salah satu hal yang difokuskan untuk diubah dalam upaya memperbaiki
tatanan pengaturan hak agraria masyarakat Indonesia dari ketidakadilan hukum
kolonial. Beberapa peraturan yang dihasilkan antara lain terdapat Undang-Undang
No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah
Perkebunan, Undang-Undang No. 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan
Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 1 Tahun
1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan Undang-Undang No. 7 Tahun
1958 tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria.13
______________
12 A. Ridwan Halim, Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia
Indonesia, Cetakan ke-2 1988, hlm. 27
13 Elza Syarief,
Op.Cit., hlm. 116
3.
UNDANG-UNDANG
AGRARIA MASA AGRARISCHE WET 1870 – 1945.
Sesuai dengan
sistem pemerintahan pada jaman Hindia Belanda, daerah Indonesia dibagi atas 2
bagian yang mempunyai lingkungan hukum sendiri yaitu Daerah yang diperintah
langsung oleh atau atas nama Pemerintah Pusat dan disebut dengan Daerah
Gubernemen dan Daerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah
Pusat yang disebut dengan daerah swapraja (Dirman, 1952: 13).
Menurut pasal 21
ayat (2) Indische Staatsregeling (IS), bahwa peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah Pusat hanya berlaku di daerah-daerah gubernemen saja. Jika
peraturan-peraturan Pemerintah Pusat akan diberlakukan di daerah Swapraja harus
dinyatakan dengan tegas di dalam peraturah tersebut bahwa juga berlaku untuk
daerah Swapraja atau ditegaskan dengan suatu peraturan lain.
Sebagai contoh :
Pasal 1 Agrarisch
Besluit (S. 1870 -118) tentang “tanah negara’ (Staatsdornein) tidak berlaku
untuk daerah-daerahswapraja.
“Tanah mentah “
(Woeste gronde) di daerah-daerah swapraja tidak ditetapkan siapa pemiliknya
menurut Pasal 1 Agrarisch Besluit.
Secara singkat
pemerintah belanda mulai memberlakukan Agrarische Wet kepada pengusaha swasta
asing atas desakan dari para kolongmerat belanda dan aktifis HAM dari Belanda
yang mengecam kultur stelsel (kerja rodi). Secara logis, culture stelsel merugikan
pemilik modal swasta yang ingin berinfestasi karena pembatasan kepemilikan
tanah oleh pemerintah dengan maksimal sewa tanah 20 tahun. Setelah berlakunya
Agrarische Wet hak erfpacht mulai dapat di terapkan pada Indonesia. Seiring
berjalanya waktu praktek hak erfpacht mulai bergeser menjadi hak eigendom dan
pemerintah Belanda merasa cultur stelsel memberi keuntungan kepada pemerintah
sehingga terjadilah percampuran hukum pada Agrarische Wet.
Dengan kebijakan
pemerintah Belanda Agrarische Besluit (Stb 1870 No. 118) Pasal 1 AB :
“Semua tanah yang
pihak lain tidak dapat membuktikan, bahwa tanah itu tanah eigendomnya adalah
domein Negara”
Dengan adanya pasal
tersebut pihak kesultanan Kerataon Yogyakarta membuat peraturan : RIJKSBLAD
Yogyakarta 1918 No. 16 :
“ Sakabehi bumi
kang ora ono tondo yektine kadarbe ing liyo mawawa wenang egendom dadi bumi
kagungane keratin ingsun Ngayugjokarto”
Artinya : Semua
bumi (tanah) yang tidak memiliki tanda bukti (hak milik) eigendom, maka menjadi
hak milik keraton Jogjakarta.
Pada akhirnya
bergantilah kependudukan Belanda tergantikan oleh Jepang. Pada pendudukan
Jepang yang singkat, hukum agrarian tak sempat terjamah untuk mengalami
perubahan peratuaran oleh pemerintah jepang.
ada juga Agrarische
Reglement (peraturan agraria) yang diterbitkan untuk mengatur hak milik pribumi
di wilayah luar Jawa dan Madura.14 Pada
ayat (4) Agrarische Wet 1870 disebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan
hak erfpacht15 selama 75 tahun.
Kemudian perihal ketentuan pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan dan
keputusan. Salah satu yang penting adalah Agararisch Besluit (keputusan
agraria) yang hanya berlaku di Jawa dan Madura, yang diundangkan dalam
Staatsblad 1870 No. 118, di mana dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa “semua tanah
yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom),
adalah hak domein negara.”
__________________________
14 Cornelis van Vollenhoven,
Op.Cit., hlm. 168
15 Erfpacht
merupakan hak kebendaan yang memberi kewenangan yang paling luas kepada pemegang
haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain, dan
boleh menggunakan semua kewenangan yang terkandung dalam eigendom atas tanah.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan ke-5, 2012, hlm. 48-49
Domein negara
artinya milik mutlak negara, biasa dikenal dengan Domein Verklaring. Rakyat
Indonesia benar-benar berada pada masa ketidakadilan dengan terampas
kemerdekaan dan haknya atas tanah mereka sendiri. Masa kolonial telah
memperbudak rakyat sekaligus negara Indonesia untuk melayani kebutuhan
orang-orang Belanda memperkaya diri dari hasil pertanian dan perkebunan
Indonesia. Beberapa abad penjajahan kolonial itu telah menjadi bagian dari
perjalanan hukum agraria yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Memasuki masa
Perang Dunia II antara blok barat dan blok timur, kedudukan Belanda mulai
tergeser dan Indonesia jatuh di bawah kekuasaan penjajahan Jepang. Sejak tahun
1942 Jepang mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan kolonial.
Pemerintahan jepang mengeluarkan kebijakan yang mentolerir dan mendorong rakyat
untuk menggarap tanah-tanah perkebunan dan tanah terlantar yang menimbulkan
persepsi bahwa rakyat bisa memperoleh kembali tanah mereka yang dulu digusur
oleh pemerintah colonial Belanda.Namun tetap saja para petani penghasil padi
dikenakan kewajiban menyerahkan hasil produksinya kepada pemerintah sebagai
semacam pajak.16
Menteri Van de Putte jatuh karena dianggap terlalu
tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Pada tahun 1867/1868,
pemerintah jajahan lalu mengadakan suatu penelitian tentang hak-hak penduduk
Jawa atas tanah, yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Namun ternyata,
pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian tersebut. Pada tahun
1870, enam tahun sebelum laporan itu terbit, Menteri Jajahan de wall mengajukan
RUU yang akhirnya diterima oleh parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima
ayat ini kemudian ditambahkan kepada 3 ayat dari pasal 62 RR, yang kemudian
dijadikan pasal 51 dari Indische Staatsreggeling (IS). Inilah yang disebut
dengan Agrarische Wet 1870, yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad)
BO.55, 1870.
Dengan
demikian tahun 1870 merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah agraria
di Indonesia. Karena sejak itu maka berduyun-duyunlah modal swasta Eropa masuk
ke Indonesia. Muncullah perkebunan swasta besar di Sumatera dan juga Jawa.
Tujuan Undang-Undang Agraria 1870 untuk memberikan kesempatan luas bagi modal
swasta asing memang berhasil. Tapi tujuan lainnya, yaitu melindungi dan
memperkuat hak tanah bagi bangsa Indonesia asli ternyata jauh dari harapan.
________________
16 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit.,
hlm.80
Hal
ini terjadi karena banyak para sultan yang memberikan konsesi atas tanah nya
kepada pihak asing, dengan kata lain mengabaikan kepentingan rakyat nya, Hal
ini menyebabkan kemiskinan masyarakat Indonesia asli. Menanggapi hal tersebut,
Pemerintah Kolonial membentuk Panitia Penyelidik Kemiskinan (Mindere Welvaart
Commissie) pada tahun 1902. Namun laporan lengkap penelitian itu
(MindereWelvaart Onderzoek) ternyata baru selesai tahun 1920. Pencerminan rasa
bersalah pemerintah Belanda ditunjukkan dengan di bentuknya kebijakan baru yang
terkenal dengan istilah ³Politik Etis´ dengan tokoh utamanya C.Th. van
Deventer. Mulai awal abad ke-20 itu pemerintah berusaha memperbaiki keadaan
melalui enam bidang yaitu, irigasi, reboisasi, transmigrasi, system
perkreditan, pendidikan dan kesehatan masyarakat.Walaupun disana sini usah
tersebut memang dirasakan hasilnya, namun kebijaksanaan ini secara fundamental
tidak berhasil mentransformasikan masyarakat pedesaan. Kebijaksanaan
perkreditan misalnya, dianggap tidak bersifat memacu perubahan dan perkembangan
ekonomi, melainkan sekedar mempertahankan ³statusquo´.
4.
UNDANG-UNDANG
AGRARIA MASA PERUBAHAN UUD BELANDA 1848 (1848-1870)
Terjadi
pertentangan antar kaum liberal yang menentang Cultuurstelsel dengan kaum
konservatif. Kemenangan pertama dipetik oleh golongan liberal ketika pada tahun
1848 akhirnya Undang-Undang Dasar Belanda dirubah yaitu dengan adanya ketentuan
di dalamnya yang menyebutkan bahwa pemerintahan di tanah jajahan harus di atur
dengan undang-undang. Undang-Undang yang dimaksud ternyata baru selesai pada
tahun 1854, yaitu dengan keluarnya Regerings Regelment (RR) 1854. Pada tahun
1865 Menteri Jajahan Frans Van de Putte, seorang liberal, mengajukan Rancangan
Undang-Undang, yang isi nya antara lain adalah bahwa Gubernur Jenderal akan
memberikan hak erfpacht selam 99 tahun; hak milik pribumi diakui sebagai hak
milik mutlak (eigendom); dan tanah komunal dijadikan hak milik perorangan
eigendom. Ternyata RUU ini ditolak oleh parlemen, demikianlah sampai saat itu
tujuan golongan swasta Belanda untuk menanam modalnya di bidang pertanian di
Indonesia belum tercapai.
5.
UNDANG-UNDANG
AGRARIA ZAMAN “CULTUURSTELSEL” (1830-1848)
Gubernur
Jenderal Van den Bosch melaksanakan apa yang disebut cultuurstelsel atau tanam
paksa. Dasarnya adalah teori Raffles (domein), yaitu bahwa tanah adalah milik
pemerintah. Para Kepala Desa dianggap menyewa kepada Pemerintah, dan
selanjutnya Kepala Desa meminjamkan kepada petani. Maka isi pokok
Cultuurstelsel bahwa 1/5 dari tanah si pemilik tanah harus ditanami dengan
tanaman tertentu yang dikehendaki oleh pemerintah, seperti nila, kopi, tembakau,
dan sebagainya, kemudian harus diserahkan kepada Pemerintah (untuk di ekspor ke
Eropa). Hasil politik “Tanam Paksa” ini ternyata melimpah bagi Pemerintah
Belanda, sehingga menimbulkan iri hati bagi kaum pemilik modal swasta.
Memasuki masa pemerintahan Van den Bosch, pada tahun
1830 diterapkan sebuah system tanam paksa (Cultuurstelsel), yakni dengan
pemiadaan pembayaran pajak dari para petani di desa namun digantikan dengan
kewajiban menanami 1/5 tanahnya dengan tanaman seperti nila, kopi, tembakau,
teh, tebu dan sebagainya untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah (untuk di
ekspor ke Eropa).17
Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah Belanda secara cuma-cuma,
tanpa ada imbalan apapun.Kondisi ini semakin mengerdilkan hak agraria rakyat
Indonesia sebagai pemilik asli tanah Indonesia. Rakyat Indonesia benar-benar
dijadikan budak untuk memperkaya Belanda. Begitu banyak hasil kekayaan alam
Indonesia dikeruk secara sia-sia karena para petani tidak mendapatkan imbalan
atas hasil tanaman yang diberikannya pada Belanda. Sistem ini mendatangkan
kritik habis-habisan, antara lain oleh Edouward Douwes Dekker (Multatuli), lalu
akhirnya sebagai jawabannya dikeluarkan kebijakan Regerings Reglement yang
dalam Pasal 64 dinyatakan bahwa Gubernur Jenderal dilarang menjual tanah
kecuali tanah sempit bagi perluasan kota dan industri dan boleh menyewakan
tanah berdasarkan Ordonnantie (peraturan) kecuali tanah hak ulayat.18
______________________
17 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm. 70-71
18 Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 13
6.
UNDANG-UNDANG
AGRARIA MASA PEMERINTAH INGGRIS (1811-1816)
Sebagai
Gubernur Jendral di Indonesia, Raffles menginginkan agar langkah politiknya
memperoleh pembenaaran, yaitu “teori domein” nya. Maka pada tahun 1811,
dibentuklah sebuah Panitia Penyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie dengan
tugas melakukan “penyelidikan statistik mengenai keadaan agrarian”. Berdasarkan
hasil penyelidikan inilah Raffles menarik kesimpulan bahwa “semua tanah adalah
milik raja atau pemerintah”. Inilah yang dikenal sebagai teori domein dari
Raffles. Sehingga dibuatlah system penarikan pajak bumi (landrente), yaitu
setiap petani diwajibkan membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah
garapannya. Teori Raffles ini ternyata mempengaruhi kebijakan agraria selama
sebagian besar abad ke -19. Setelah
bangkrutnya VOC pada awal abad ke-19, kekuasaan pemerintah Belanda dipatahkan
oleh balatentara Inggris dan pada tahun 1811 Belanda harus menyerahkan Pulau
Jawa kepada Inggris.19
Di bawah pemerintahan Raffles dibentuklah sebuah panitia dengan tugas melakukan
penyelidikan statistic mengenai keadaan agraria, dan atas hasil penyelidikan
itu Raffles berkesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah
Inggris (teori Domein).20
Raffles mewujudkan pemikiran tentang pajak yang dikenal dengan nama
Landrent (pajak tanah). Landrent tidak
langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, para kepala desa diberi
kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.21 Berdasarkan
ketentuannya itu, penduduk pribumi hanya dianggap menumpang dan dibebani
tanggung jawab untuk membayar pajak dalam pemakaian tanah raja atau pemerintah
Inggris. Kemudian dengan dibentuknya perjanjian pada 13 Agustus 1814 antara
Inggris dan Belanda, maka semua jajahan Belanda yang diwaktu peperangan
terakhir diduduki oleh Inggris akan dikembalikan kepada Belanda.22
_________________
19 Mr R Tresna, Peradilan di
Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, xxxx, hlm. 43
20 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit.,
hlm. 70
21 Muchsin dkk., dan Soimin, Op.Cit.,
hlm. 12
22 Supomo dan Djoksutono, Op.Cit., hlm.
83
7.
UNDANG-UNDANG
AGRARIA MASA PRA-KOLONIAL
Pola
pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal kerajaan-kerajaan di Jawa adalah
berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasan, yang
diberikan ke tangan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang
di istana. Agaknya, pada masa itu konsep “pemilikan” menurut konsep Barat (“property”,”eigendom”)
memang tidak dikenal, bahkan juga bagi penguasa. Karena itu tanah-tanah
tersebut bukannya “dimiliki” oleh pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan
bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas
tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka
pertahankan, dan secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan
ataupun menjual hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.
Pada
awal abad ke-19 VOC bangkrut dan penguasaannya digantikan oleh pemerintah
Kerajaan Belanda. Gubernur Jendral Daendels memprakarsai perubahan-perubahan
administrasi untuk meciptakan kekuasaan politik yang lebih sistematis. Tetapi
sejauh itu masalah penguasaan tanah secara formal belum memperoleh perhatian
sepenuhnya. Barulah ketika pemerintahan
Inggris menggantikannya (1811-1816) saat Raffles memperkenalkan teorinya yang
terkenal itu, yaitu teoridomein, masalah keagrariaan memperoleh perhatian yang
sebenarnya. Zaman Raffles inilah yang dapat dianggap sebagai “tonggak sejarah”
yang pertama dalam soal keagrariaan, di Indonesia.
Perkembangan hukum agraria sudah dimulai sejak zaman
kerajaan, dimana tanah bukanlah benda yang diperdagangkan karena masih
melimpahnya tanah-tanah yang belum dimiliki. Masyarakat pada masa kerajaan
menjalani kehidupannya berdasarkan ketentuan raja. Sebagai pemimpin tertinggi
dalam sebuah wilayah, raja berdaulat penuh atas semua hal yang ada dalam
wilayah yuridiksinya. Begitupun dalam pengurusan tanah, raja telah menentukan
batas dan bagian masing-masing bagi rakyatnya. Pola pembagian wilayah yang
menonjol pada masa awal-awal kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke
dalam beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat-
pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana (Paigeaud 1960,
Moertono 1968)23
Sebelum adanya
peraturan pertanahan yang di buat oleh Belanda di Indonesia, Indonesia saat itu
telah memiliki hukum pertanahan sendiri.
______________
23 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir,
Diterbitkan bersama oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo
Institute (Bogor), AKATIGA (Bandung), Edisi Baru, 2009, hlm. 66
Hukum
pertanahan tersebut berasal dari hukum adat masing-masing daerah, karena pada
saat itu belum ada persatuan antar suku dan bangsa. Hukum pertanahan adat itu
sampai sekarang masih berlaku dan sering disebut hak ulayat adat.
Secara singkat
pengertian dari tanah ulayat adalah tanah yang di miliki oleh suatu masyarakat
adat yang tatacara kepemilikanya memiliki aturan yang khas tiap-tiap daerah.
Luas tanah ulayat tidak mampu didefinisikan secara pasti namun kebiasaan
masyarakat adat utuk menentukan luas tanah ulayat dengan cara seluas mata
memandang adalah milik masyarakat adat tersebut. Tanah ulayat merupakan tanah
milik adat (masyarakat adat) dengan pemisahan antara tanah dengan bangunan yang
di atasnya (pemisahan horizontal). Tiap daerah memang memiliki perbedaan
tatacara kepemilikan tanah ulayat namun jika di gambarkan secara umum, ketika
salah satu individu pada masyarakat adat ingin membuka lahan baru maka dia
harus melakukan mekanisme :
MABALI. Mabali
adalah pemberian tanda batas tanah oleh individu anggota masyarat adat (seperti
rotan di atas pohon).
Musyawarahkan
(dengan ketua adat) Meminta ijin pada ketua adat untuk membuka lahan yang telah
ditandai.
Membuka Tanah,
Membuka tanah dengan komunal (bergotongroyong / bersama-sama)
Mengusahakan
(Menanami lahan, membangun rumah, berburu, dll)
Timbul Hak
Milik
Timbulnya hak
milik tidak berarti mutlak kepemilikan individu anggota masyarakat adat.
Para pedagang berdatangan ke Indonesia sekitar abad
17 dengan alasan untuk berdagang dan mengembangkan perusahaan dagangnya.
Sejarah hukum agraria kolonial pun diawali oleh perkumpulan dagang yang disebut
Veerenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC) antara tahun 1602-179924, mereka
diberikan hak untuk berdagang sendiri di Indonesia dari Pemerintah negeri
Belanda (Staten General), yang sejak tahun 1602 itu VOC mendapat hak untuk
mendirikan benteng-benteng serta membuat perjanjian dengan raja-raja Indonesia25. VOC mulai
menaklukan raja-raja dari kerajaan-kerajaan kecil dengan cara mengharuskan
menandatangani perjanjian (tractaat) bahwa mereka (raja dan rakyatnya) harus
tunduk dan patuh kepada VOC dengan sistem perdagangan Verpelichte Leverantie
dan Contingenten,
___________________
24 Muchsin, Imam Koeswahyono, dan
Soimin, Hukum Agraria dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika Aditama, 2007,
hlm. 9
25 Supomo dan Djoksutono, Sedjarah
Politik Hukum Adat 1609-1848, Jakarta: Djambatan, Cetakan ke-4, 1955, hlm. 1
yaitu menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah
dipatok atau ditentukan dan hasil bumi yang diserahkan dipandang sebagai pajak
tanah.38Kemudian hukum perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek) mulai diberlakukan
untuk seluruh wilayah kekuasaan VOC, penekanan praktek penegakkannya adalah
pada perolehan tanah untuk hubungan keagrariaan bagi pengumpulan hasil bumi
untuk dijual di pasaran Eropa.26 Dengan hukum barat itu, maka hak-hak tanah yang
dipegang oleh rakyat dan raja-raja Indonesia tidak dipedulikan. Namun rakyat
Indonesia masih dibiarkan untuk hidup menurut hukum adat dan kebiasaannya.27 Seluruh lahan
di daerah kerajaan yang berada di bawah
kekuasaan VOC itu diklaim menjadi milik VOC sehingga bebas digunakannya,
termasuk untuk dijual kepada pihak selain masyarakat Indonesia. Salah satu
bentuk kegiatan penjualan tanah itu dilakukan melalui Lembaga Tanah Partikelir
sejak tahun 1621, dengan dominasi pembeli dari pedagang kaya orang Arab dan
Cina, namun tidak ada surat bukti jual beli karena pada masa itu belum ada
pejabat notaris. Maka tanah partikelir itu dicatat dalam catatan “eigendom‟
milik Belanda.28
Situasi tersebut berjalan cukup lama, sehingga membuat rakyat Indonesia
kehilangan hak-haknya sendiri atas tanah dan semakin miskin karena eksploitasi
yang dilakukan VOC tehadap hasil pertanian rakyat. Kemudian pada tahun 1799,
VOC terpaksa dibubarkan karena kerap kali berperang, kas kosong dan banyak
hutang, serta banyak pesaing dari Inggris dan Perancis. Setahun kemudian,
daerah dan hutang-hutang VOC diserahkan kepada Bataafsche Republiek, serta
Indonesia sebagai tanah jajahan dijadikan bagian dari wilayah Negeri Belanda
dengan status sebagai negara jajahan (Nederlands Indie – Hindia Belanda).29
Kebijakan itu
digunakan untuk membina tata hukum kolonial dalam mengontrol kekuasaan dan
kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan.30
Dalam Hukum Pertanahan Belanda di Indonesia, pelaksanaannya
dimulai secara sah sejak tahun 1848 ketika diberlakukannya Undang-Undang Hukum
Perdata Belanda (Nederlands Burgelijk Wetboek-BW) yang baru dan di Indonesia
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPInd.).31
_____________________
26 Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 10
27 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan
Agraria, Yogyakarta: STPN Press, 2012, hlm. 37
28 Roestandi Adiwilaga, 1962 sebagaimana
dikutip pada Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 10
29 Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 69
30 Soetandyo Wignjosoebroto, monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum ?
Regulasi, Negosiasi dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, Jakarta:
Epistema Institute, 2011,hlm. 29
31 Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 37
Kodifikasi hukum berlangsung untuk pertama kali, BW
berlaku khusus untuk golongan Eropa, kemudian berlaku juga untuk golongan Timur
Asing (sejak tahun 1855), sedangkan untuk golongan Bumiputera berlaku hukum masing-masing
(yakni hukum adat).32 Mengenai pengaturan hukum adat terkait urusan
keagrariaan, Ter Haar dan para muridnya yang belajar di Sekolah Tinggi Hukum di
Jakarta (yang pada waktu itu bernama Rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja
di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah sosial (adat) komunitas-komunitas
dengan sanksi sanksi.33
Van Vollenhoven telah menjelaskan sifat atau ciri khusus sebagai tandatanda
pengenal Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Adat Indonesia, yaitu:
1. Masyarakat hukum dengan pimpinan dan warganya
dapat dengan bebas menggunakan dan mengusahakan semua tanah hutan belukar yang
belum dikuasai seseorang dalam lingkungan masyarakat hukum untuk membukanya,
mendirikan perkampungan atau desa, berburu, mengumpulkan hasil hutan,
menggembala dan merumput;
2. Orang asing hanya dapat melakukan hal-hal yang
disebutkan sebelumnya setelah mendapatkan izin dari masyarakat hukum, karena
setiap pelanggarannya dinyatakan sebagai suatu pelanggaran adat yang disebut “maling
utan‟;
3. Setiap orang asing, tetapi kadang-kadang terhadap
warga masyarakat hukum pun, diharuskan membayarkan uang pemasukan, untuk dapat memungut
dan menikmati hasil tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat;
4. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas
setiap pelanggaran hukum yang terjadi dalam wilayah masyarakat hukum adat;
5. Masyarakat hukum adat tetap berhak menguasai dan
mengawasi tanahtanah pertanian dalam lingkungan masyarakat hukumnya; dan
6. Tanah masyarakat hukum adat tidak boleh dijual
lepaskan kepada pihak lain untuk selama-lamanya.
________________
32 Elza Syarief, Op.Cit., hlm. 101
33 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum
..... ,Op.Cit., hlm. 24-25
Berkat perjuangan Van Vollenhoven dan Ter Haar serta
para penerusnya, pada zaman Hindia Belanda itu hukum negara yang diterapkan
(oleh badan-badan yudisial pemerintah kolonial) menjadi tidak – atau tidak
banyak – menyimpang dari hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.34 Dalam
praktiknya, pelanggaran demi pelanggaran hukum dilakukan oleh pemerintah
Belanda. Pemerintah acapkali mencabut hak milik tanah seseorang tanpa
didasarkan ketentuan hukum karena penduduk pribumi tidak ditentukan sebagai
pihak yang berhak atas hak milik dan ganti rugi atas tanah.35 Kemudian dengan
semakin berkembangnya dominan ide liberalisme di bidang hukum, lahirlah
Regeelings Reglement (RR) pada tahun 1854 yang dimaksudkan untuk membatasi dan
mengontrol kekuasaan eksekutif yang berada di tangan para administrator
kolonial.36
Menurut ayat (3) dari Pasal 62 RR menyebutkan bahwa
Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut peraturan yang harus
ditetapkan dengan peraturan umum. Dalam hal ini tidak termasuk tanah-tanah yang
dibuka oleh orang-orang Bumiputera, atau yang termasuk lingkungan suatu desa,
baik sebagai tempat penggembalaan umum, maupun dengan sifat lain. Tujuan
gerakan kaum liberal dalam bidang agraria ini adalah agar pemerintah memberikan
pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak
(eigendom) untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan, serta agar dengan asas
domein pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa
tanah jangka panjang dan murah (erfpacht).37
____________________________
34 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum
..... ,Op.Cit., hlm. 25
35 Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en
Zijn Ground), Yogyakarta: STPN Press, 2013, hlm. 16
36 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum
.....Op.Cit., hlm. 32
37 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit.,
hlm. 71-72
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Sebagai
penutup dalam tulisan ini, penulis memberikan beberapa kesimpulan bahwa:
Beberapa
sumber hukum tanah Indonesia yaitu hukum tanah adat, kebiasaan, tanah-tanah
swapraja, tanah partikelir, tanah negara, tanah garapan, hukum tanah Belanda,
hukum tanah Jepang, tanah-tanah milik perusahaan asing Belanda, tanah-tanah
milik perseorangan warga Belanda, surat izin perumahan, tanah bondo deso, tanah
bengkok, tanah wedi kengser, tanah kelenggehan, tanah pekulen, tanah res extra
commercium, tanah absentee, tanah oncoran, dan bukan tanah oncoran.
Sejarah
hukum agraria (UUPA) di indonesia dapat di bagi atas 7 masa, yaitu :
1. Masa
setelah ditetapkannya UUPA tahun 1960
2. Masa
setelah proklamasi kemerdekaan sampai sebelum ditetapkannya UUPA tahun 1960
3. Masa
AGRARISCHE WET 1870 – 1945
4. Masa
Perubahan UUD BELANDA 1848 (1848-1870)
5. Masa
/ Jaman “CULTUURSTELSEL” (1830-1848)
6. Masa
Pemerintahan INGGRIS (1811-1816)
7. Masa
PRA-KOLONIAL
Karena
terus berubahnya hokum agrarian dari masa kemasa, maka penulis menyimpulkan
bahwa sesuai dengan teori Friederich Carl Von Savigny bahwa
“Setiap masa terjalin dengan masa sebelumnya, Hukum adalah gejala masyarakat,
hukum berkembang sesuai perkembangan masyarakat, maka sesuai dengan filosopi
Von Savigni bahwa Hukum tidak dibuat tetapi ditemukan” Demikian Paper
yang dapat saya sajikan, mudah-mudahan bisa bermanfaat, khususnya bagi saya
penulis, umumnya bagi para pembaca sekalian. saya menyadari dalam penulisan ini
masih banyak kesalahan dan kekurangannya, kritik yang sifatnya membangun sangat
saya harapkan untuk kemajuan kearah yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
BUKU
Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional.,
Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012.
Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan
Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground), Yogyakarta: STPN Press, 2013
Dudu Duswara Machmudin. Pengantar Ilmu
Hukum – Sebuah Sketsa. Bandung: Refika Aditama, 2010.
Effendi Perangin..401 Pertanyaan dan
Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta: Rajawali, 1986
Effendi Perangin. 1991.Hukum Agraria di
Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Rajawali.
Elza Syarief, Menuntaskan sengketa tanah, Gramedia,
Jakarta, 2012
Elza Syarief, Persertifikatan tanah bekas hak
eigendon, Gramedia, Jakarta 2014
Gunawan wiradi, Reforma agrarian untuk pemula,
secretariat bina desa, Jakarta, 2005
Hanitijo, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah
Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.
Herman Soesangobeng, Filosopi azas teori hokum
pertanahan dan agrarian, STPN Press, 2012
Hermit, Herman, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak
Milik,Tanah Negara dan Tanah Pemda, teori dan Praktek, CV. Mandar Maju,
Bandung, 2004.
Muchsin dkk, Hukum agrarian diindonesia
dalam prespektif sejarah, Reflika aditama, bandung,
Parlindungan, A.P, Komentar UUPA, Mandar Maju,
Bandung, 2008.
Roestandi Adiwilaga, Hukum agrarian diindonesia
dalam teori dan praktek, STPN Press, 2012
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari konsep colonial ke
hokum nasional, Rajagrafindo persada, Jakarta, 1994
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka
Cipta, Jakarta, 2007
Sudharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan
Tanah.Jakarta: Sinar Grafika, 1994
Supriadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, PT.
Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2010.
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika.
Jakarta, 2010
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak
Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2009
Wignjodipuro, Surojo, Pengantar Asas-Asas Hukum
Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1982.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan
Dasar PokokPokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
C. Media Maya
Tidak
Ada Nama,2010.Pengertian
Agraria.http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/ hukum - agraria/.Di Unduh tgl 20 mei 2011
Yusril,2010.Hukum
Agraria Masa Kini.http://Paperdanskripsi.blogspot.com/2008/08/ hukum-agraria-penyelesaian-sengketa.html.Di
unduh tgl 20 Mei 2011
Sukardi,2011.Sejarah
Hukum Agraria.http://ilmuanu.blogspot.com/2011 /04/sejarah hukum-agraria.html.Di unduh tgal 20
mei 2011
Tidak
Ada Nama,2011.Hukum agraria Indonesia.http://www.kekal-indonesia.
org/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=72. Di unduh tgl 20 mei 2011
Wandi,2011.Hukum
Agraria sesudah dan sebelum Merdeka.http://chekp4yz.
wordpress.com/2010/07/28/bab-ii-agraria/.Di unduh 20 Mei 2011.
Darno,2010.Kebijakan
Hukum agraria Indonesia.http://kuliah-notariat.blogspot.
com/2009/03/kebijakan-hukum-agraria-di-indonesia.html.Di unduh 20 mei
2011
Sunardi,2011.Sejarah
Agraria Indonesia.http://roysanjaya.blogspot.com/ 2009/03/sejarah-hukum-agraria-di-indonesia.html.Di
unduh 20 Mei 2011
Tidak
Ada Nama.Definisi Hukum Agraria.http://okusi.net/garydean/works/ HukumAgraria.html.Di unduh 20 mei
2011
Darnoto,2010.Sejarah
Agraria Di indonesia.http://www1.patikab.go.id/artikel/hukum agraria-sejarah-hukum-agraria-.Di unduh
20 mei 2011
Alhakim,2011.Sejarah
Hukum agraria Di indonesia.http://
alhakim050181.wordpress.com/.Di unduh 20 mei 20111.x`x`