Senin, 02 Desember 2019


ANALISIS COMMERCIAL EXIT FROM FINANCIAL DISTRESS
DALAM PUTUSAN PAILIT PT. MANDALA AIRLINES


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Definisi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Kepailitan sering dianggap sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan cacat hukum atas subjek hukum, sehingga kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor.1
Perseroan Terbatas adalah pelaku utama dalam lalu lintas perekonomian, maka perseroan terbatas memiliki peranan yang sangat penting untuk mengembangkan sektor perekonomian. Apabila perseoran terbatas mengalami permasalahan, Salah satunya adalah persoalan ketidakmampuan perseroan untuk meneruskan kegiatan usahanya. yang akan memiliki implikasi yang luas seperti kemampuan untuk membayar kembali hutang perseroan, kemampuan untuk menghasilkan profit berdampak untuk keberlangsungan perseroan. Secara prinsip bahwa kepailitan bukanlah semata sebuah upaya untuk mempermudah sebuah usaha baik itu milik perorangan maupun korporasi menjadi bangkrut, melainkan kepailitan adalah salah satu upaya untuk mengatasi kebangkrutan sebuah usaha. M.Hadi Shubhan mengutip pendapat Ricardo Simanjuntak bahwa kepailitan khususnya corporate insolvency sebenarnya merupakan exit from financial distress, jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan.
Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.2 Melalui Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 48/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN.NIAGA.JKT.PST. PT. Mandala Airlines, badan hukum perseroan terbatas yang menjalankan usaha dalam bidang angkutan udara niaga berjadwal telah dinyatakan pailit.
__________
1 M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 2.
2 Ibid., hal. 305.
Permohonan pailit diajukan sendiri oleh PT. Mandala Airlines, dalam permohonan pailitnya PT.Mandala Airlines mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut akibat begitu ketatnya persaingan usaha di Indonesia. Sebelumnya PT. Mandala Airlines pernah mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dikabulkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Putusan No. 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung No. 070 PK/Pdt.Sus/2011, meskipun telah kembali melanjutkan kegiatan usahanya, ternyata PT. Mandala Airlines tetap mengalami kesulitan finansial (keuangan) dan tidak mampu untuk membayar utangutangnya kepada para kreditor. Bahkan PT. Mandala Airlines mengaku tidak pernah memperoleh keuntungan atau mendekati untung pada kuartal operasi manapun yang memberikan dampak yang besar terhadap kemampuan finansial PT.Mandala Airlines.3

B.     Masalah
Berangkat dari pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan Analisis Bagaimana penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam hukum kepailitan yang ditinjau dari putusan pailit PT. Mandala Airlines berjudul “Analisis Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT. Mandala Airlines (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST)”.












__________
3  Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan Nomor 48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST

PEMBAHASAN
A. Tinjauan Hukum Kepailitan di Indonesia
1. Pengertian Pailit dan Tujuan Hukum Kepailitan
Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt” adalah the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is unable to pay its debt as they are, or became due. The terms includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt. Dari pengertian tersebut, pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. “Ketidakmampuan untuk membayar” diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan harus disertai dengan proses pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitor. Keputusan pailitnya debitor harus berdasarkan keputusan pengadilan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga ketidakmampuan seorang debitor itu dapat diketahui oleh umum. Seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.4 Mengenai pengertian kepailitan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU): Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kemudian pengertian pailit tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan bahwa: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dari beberapa pengertian diatas, pengertian pailit adalah kondisi dimana berhentinya pembayaran dari debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo, dan berhentinya pembayaran tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri maupun permintaan pihak ketiga.
__________
4 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 20-21.
Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasan umumnya mengemukakan bahwa undang-undang tersebut didasarkan pada beberapa asas. Asas tersebut antara lain adalah:
1.   Asas Keseimbangan. ini mengatur beberapa perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2.   Asas Kelangsungan Usaha. Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3.   Asas Keadilan. Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memedulikan Kreditor lainnya.
4.   Asas Integrasi. Asas integrase ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional
Prinsip hukum merupakan ratio legis dari norma hukum. Penggunaan prinsip hukum sebagai dasar bagi hakim untuk memutus perkara dalam kepailitan memperoleh legalitasnya dalam Undang-Undang Kepailitan. Secara expressis verbis, Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa sumber hukum tidak tertulis termasuk pula prinsip-prinsip hukum dalam kepailitan dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk memutus. Ada beberapa prinsip dalam kepailitan yang harus diperhatikan agar undang-undang dapat memenuhi beberapa kebutuhan utama dunia usaha. Bahkan Undang-Undang Kepailitan suatu negara tidak boleh sampai mengganggu dunia usaha pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya.5 Prinsip-prinsip kepailitan yang dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu prorata parte, prinsip structured creditors, prinsip utang dalam arti luas, prinsip debt collection, prinsip universal dan prinsip teritorial. Prinsip yang tidak dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip debt forgiveness, prinsip fresh-starting, prinsip pembatasan jumlah minimal utang dan prinsip commercial exit from financial distress.
__________
5 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.25-26.
Sedangkan prinsip yang dianut secara ambiguitas (mendua) adalah prinsip debt pooling.6 Dalam penjelasan umum UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU juga dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:
i.     Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam jangka waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor;
ii.   Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang Hak Jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang miliki Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya;
iii. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri.
Ketiga hal tersebut yang merupakan tujuan dibentuknya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang adalah produk hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan pembangunan hukum masyarakat.7
2. Syarat Insolvensi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU agar seorang Debitor dapat dimohonkan untuk dipailitkan adalah selain Debitor memiliki dua atau lebih Kreditor juga cukup apabila satu utang kepada salah satu Kreditornya telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sama sekali tidak dipersyaratkan bahwa Debitor telah dalam keadaan insolven. Menurut Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU bahkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan terhadap perusahaan yang masih solven.8 Debitor telah berada dalam keadaan Insolven hanya apabila jumlah nilai kewajibannya (utangnya) telah lebih besar daripada nilai asetnya (harta kekayaannya). Keadaan demikian disebut balance sheet insolvency
__________
6 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, (Bandung:PT. Alumni, 2012), hal. 183.
7 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami UndangUndang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2016), hal. 9.
8 Ibid., hal.138. 10 Ibid.,hal.129.
Balance sheet insolvency dilawankan dengan cash-flow insolvency, yaitu keadaan keuangan Debitor yang tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar utangnya pada saat telah jatuh tempo karena arus pemasukan (cash flow) Debitur lebih kecil daripada arus pengeluarannya (cash outflow) sekalipun nilai asetnya masih lebih besar daripada nilai kewajibannya (belum mengalami balance sheet insolvency).9 
Adapun pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU mengatakan: Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.
Penjelasan terkait Insolvensi dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK-PKPU bahwa yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu membayar. Sehingga terminologi yuridis “insolven” dalam tahap pemberesan pailit seperti yang ada dalam UUK-PKPU memiliki makna khusus dibandingkan dengan makna “insolven” secara umum. Insolven secara umum merupakan keadaan suatu perusahaan yang kondisi aktivanya lebih kecil dari pasivanya. Hal ini biasa disebut sebagai technical insolvency. Sedangkan insolven dalam tahap pemberesan kepailitan adalah satu tahap di mana akan terjadi jika tidak terjadi suatu perdamaian sampai dihomologasi dan tahap ini akan dilakukan suatu pemberesan terhadap harta pailit. Konsekuensi yuridis dari insolven debitor pailit adalah harta pailit akan segera dilakukan pemberesan oleh kurator.10 Undang-Undang Kepailitan di Indonesia belum mengenal adanya instrument insolvensi tes. Insolvensi tes (insolvency test) adalah audit keuangan atau financial audit yang dilakukan suatu kantor akuntan publik yang independen untuk menentukan apakah keadaan keuangan debitor yang dimohonkan pailit memang sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya atau dengan kata lain debitor telah dalam keadaan insolven.11
B. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress dalam Kepailitan Perseroan Terbatas
Pengertian Financial Distress dan Kebangkrutan Perseroan Terbatas
Perkembangan perekonomian modern yang terjadi di Indonesia semakin lama semakin meningkat secara signifikan. Perkembangan ini mengakibatkan adanya tuntutan bagi perusahaan untuk mengembangkan inovasi serta melakukan perluasan agar mampu bersaing. Perusahaan yang tidak mampu bersaing akan mengalami kebangkrutan, sebelum terjadi kebangkrutan, perusahaan akan mengalami financial distress (kesulitan keuangan).12
__________
10 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.144.
11 Wawan Kennardi, Tinjauan Yuridis Ekonomi Kebutuhan Tes Insolvensi (Insolvency Test) Pada Permohonan Kepailitan di Indonesia dan Kemungkinan Penerapannya, Tesis, (Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hal.50.
12 Amelia Fatmawati, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Manufaktur di BEI), Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol.6, No.10, (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya, 2017), hal. 2.
Financial distress adalah suatu kondisi dimana perusahaan sedang menghadapi masalah kesulitan keuangan. Financial distress didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi yang tergambar dari ketidakmampuan perusahaan atau tidak tersedianya suatu dana untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo.13 Salah satu indikator untuk melihat Financial Distress menurut Ross & Westerfield dalam buku Corporate Finance, Financial Leverage adalah leverage perusahaan (penggunaan aset dan sumber dana oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan), yaitu tingkat di mana perusahan bergantung kepada pembiayaan dengan hutang daripada modal (equity). Semakin banyak perusahaan memiliki hutang, maka kemungkinan besar perusahaan akan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban kontraktual. Dengan kata lain, terlalu banyak hutang dapat menyebabkan tingginya probabilitas insolvency dan financial distress. 14 Kesulitan keuangan suatu perusahaan bisa terjadi bermacam-macam tipe. Dalam teori keuangan perusahaan yang lazim dikenal pada manajemen keuangan membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi:15
a.       Economic Failure Kondisi pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang mengalami economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian (return) di bawah tingkat bunga pasar.
b.      Business Failure Istilah ini digunakan oleh Dun & Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefinisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan sebagai gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ menutup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.
c.       Technical Insolvency Sebuah perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical insolvency ini mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara di mana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak, apabila technical insolvency ini merupakan gejala awal dari economic failure, maka hal ini merupakan tanda ke arah bencana keuangan (financial disaster).
d.      Insolvency in Bankruptcy Kondisi bilamana buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari aset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius bila dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda dari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.

__________
13 Mitha Christina Ginting, Pengaruh Current Ratio dan Debt to Equity Ratio (DER) Terhadap Financial Distress pada Perusahaan Property & Real Estate di Bursa Efek Indonesia, Jurnal Manajemen, Vol.3 No.2, (Universitas Methodist Indonesia, 2017), hal. 38.
14 Ahmad Hanin Fatah, Penyebab Financial Distress di PT.Petrowidada, Tesis, (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002), hal. 13.
15 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal. 54.
e.       Legal Bankruptcy Keadaan dimana perusahaan telah mengajukan klaim kebangkrutan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Putusan pailit yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah contohnya.
Altman menggunakan model statistik Multiple Discriminant Analysis (MDA), yakni Z-Score model yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan bangkrut dan tidak bangkrut dengan mengkombinasikan lima rasio keuangan. Financial distress dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan rumus Altman Z-Score, dengan model sebagai berikut:16
Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5
Keterangan :
X1 = Modal kerja/Total Aset. X2 = Laba ditahan/Total Aset. X3 = Laba sebelum bunga dan pajak/Total Aset. X4 = Ekuitas pemegang saham/Total Kewajiban. X5 = Penjualan/Total Aset
Singkatnya, dampak financial distress adalah dapat membawa perusahaan mengalami kesulitan dalam membayarkan kewajiban yang ditanggung. Menurut Anggarini, perusahaan yang mengalami financial distress (kesulitan keuangan) akan menghadapi kondisi:17
a.       Tidak mampu memenuhi jadwal atau kegagalan pembayaran kembali hutang yang sudah jatuh tempo kepada kreditor.
b.      Perusahaan dalam kondisi tidak solvable (insolvency)
Kebangkrutan adalah suatu keadaan perusahaan yang mengalami deteriosasi adaptasi perusahaan dengan lingkungannya yang sampai membawa akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu yang berkelanjutan yang pada akhirnya menjadikan perusahaan tersebut kehilangan sumber daya dan dana yang dimiliki sebagai akibat dari gagalnya perusahaan melakukan pertukaran yang sehat antara keluaran (output) yang dihasilkan dengan masukan (input) baru yang harus diperoleh. Pada prinsipnya, Perseroan Terbatas yang mengalami kebangkrutan maka hanya memiliki dua pilihan jalan keluar yakni pembubaran perusahaan yang didalamnya terdapat alternatif kepailitan ataukah dilakukan turnaround untuk melakukan recovery perusahaan.18


__________
16 Rice, Altman Z-Score: Mendeteksi Financial Distress, Jurnal Wira Ekonomi Mikroskill Vol.5, No.02, Oktober 2015, hal. 112.
17 Chalendra Prasetya Agusti, Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kemungkinan Terjadinya Financial Distress, Skripsi, (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, 2013), hal.22
18 M.Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.50.
Kepailitan bagi perseroan terbatas tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti melakukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis berhenti melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan direktur. Semua kewenangan tiga organ perseroan tersebut beralih kepada kurator sepanjang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan saja. Hal ini berarti di dalam kewenangan kurator tercakup semua kewenangan organ perseroan terbatas. Ketentuan kepailitan di Indonesia memungkinkan perseroan yang sudah dinyatakan pailit untuk tetap melanjutkan usahanya (on going concern). dalam kepailitan dimungkinkan perusahaan untuk tetap melanjutkan kegiatan usahanya, hanya saja dalam hal ini Kurator yang berwenang menjalankannya.19 Dengan masih tetapnya eksistensi badan usaha perseroan dalam pailit, maka dimungkinkan going concern dari usaha perseroan ini.
3. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. Kemudahan untuk mempailitkan suatu debitor sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan financial dari usaha debitor. Prinsip commercial exit from financial distress merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan perseroan terbatas. M.Hadi Shubhan mengutip pendapat Ricardo Simanjuntak yang menyatakan bahwa kepailitan khususnya corporate insolvency sebenarnya merupakan exit from financial distress, jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan. Prinsip commercial exit from financial distress tidak dianut oleh ketentuan kepailitan di Indonesia. Prinsip yang dianut dalam UUK-PKPU adalah kemudahan untuk mempailitkan subjek hukum yang berkaitan dengan debt collective proceeding. Kemudahan dalam mempailitkan suatu badan hukum bukan dalam konteks untuk mempercepat proses kepailitan terhadap badan hukum yang memang sudah seharusnya demikian. Proposisi ini terlihat dari ditentukannya syarat materiil untuk mempailitkan subjek hukum, yakni mempunyai dua atau lebih kreditor serta salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Prinsip kemudahan mempailitkan tersebut bahkan ditambah lagi dengan ketentuan pembuktian yang sederhana.20
__________
19 Sulaiman, Alfin, “Akibat Kepailitan Perusahaan Induk Terhadap Perusahaan Cabang”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5520b504efbbd/akibat-kepailitan-perusahaan-induk-terhadap-perusahaan-cabang/, diakses pada 2 Desember 2019.
20 Ibid. hal. 196.
C. Analisis Yuridis Penerapan Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines
1. Kasus Posisi PT.Mandala Airlines
PT.Mandala Airlines adalah perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang angkutan udara yang dipimpin oleh Paul Rombeek selaku Presiden Direktur yang pada tanggal 9 Desember 2014 mengajukan permohonan pailit atas perseroannya (voluntary petition of self bankruptcy) melalui kuasa hukumnya dari kantor Jakarta Legal Group dengan ditandatanganinya surat kuasa tertanggal 6 November 2014. Dalil Permohonan pailit PT.Mandala Airlines adalah karena mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut akibat mengalami pasang surut dan berulang kali menghadapi kesulitan-kesulitan keuangan mengingat begitu ketatnya persaingan di Indonesia.21
PT.Mandala Airlines sebelumnya pernah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan restrukturisasi atas utang-utangnya kepada kreditor pada itu dan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No. 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 17 Januari 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung No.070/PK/Pdt.Sus/2011 tanggal 20 Juli 2011. Kesulitan keuangan tersebut tercermin dalam laporan keuangan per tanggal 31 Desember 2013 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Purwantono, Suherman & Surja.22 Adapun hal-hal yang menyebabkan kesulitan keuangan antara lain: Biaya yang besar yang timbul untuk perawatan (maintenance) pesawat-pesawat milik pihak ketiga yang digunakan oleh Mandala Airlines berdasarkan perjanjian leasing; Kenaikan tajam biaya pembelian bahan bakar pesawat sejak tahun 2008 sampai dengan 2014; Infrastruktur airport yang belum memadai untuk menyokong operasi penerbangan domestic yang berkesinambungan; Slot yang terbatas pada bandar udara yang kemudian membatasi skala operasi ekonomi perusahaan; Penumpukan biaya-biaya operasional yang terakumulasi dalam waktu yang panjang sehingga mencapai jumlah yang sangat besar; dan Depresiasi mata uang Rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat, dimana sebagian besar atau hampir seluruh biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Mandala Airlines sebagaimana disebutkan di atas menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat. Untuk mengantisipasi kesulitan keuangan tersebut Mandala Airlines telah telah mengurangi biaya dengan cara mengurangi jumlah armada dari 9 menjadi hanya 5 pesawat dan berikutnya hingga 4 pesawat dan mengurangi pengeluaran dengan mensyaratkan bahwa seluruh pengeluaran harus disetujui oleh 1 pemegang saham. Untuk meningkatkan pendapatan pun, Mandala Airlines telah mengkombinasikan penerbangan internasional dan domestik serta memperkenalkan rute yang lebih popular seperti Hongkong ke Denpasar. Namun ternyata, dengan berlanjutnya over kapasitas di sektor penerbangan Indonesia, Mandala Airlines terus menghadapi tekanan dari sisi-
_________
21 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan Nomor 48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST, hal. 1.
22 Ibid., hal.3.
bisnis dan tidak dapat meningkatkan pendapatan dibandingkan dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan. Kerugian terus berlanjut tanpa dapat dihindari, dan sebagai dampak kesulitan finansial (keuangan) tersebut, PT.Mandala Airlines melakukan penghentian kegiatan usaha per tanggal 1 Juli 2014 dengan tujuan untuk mengurangi penambahan beban finansial, karena jika diteruskan maka akan memperburuk kondisi keuangan perusahaan dengan bertambahnya beban biaya operasional dan biaya-biaya lainnya. Pengajuan permohonan pailit didasarkan dengan adanya utang PT.Mandala Airlines kepada kreditor yang telah jatuh waktu dan belum dibayar.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 9 Februari 2015 mengabulkan permohonan pailit dengan menyatakan PT.Mandala Airlines Pailit dengan segala akibat hukumnya serta menunjuk Titik Tejaningsih,S.H. MH Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai hakim pengawas dan mengangkat Anthony LP Hutapea S.H.,M.H. sebagai Kurator dalam kepailitan ini.
2. Penerapan Prinsip Commercial Exit From Financial Distress dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak mengatur secara lebih lanjut mengenai apabila permohonan pailit diajukan oleh Debitor yang berbentuk Perseroan Terbatas, melalui Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan anggaran dasar dan dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:
(1)   Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Artinya permohonan pailit atas Perseroan sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapatkan persetujuan dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Dalam permohonan pailit PT.Mandala Airlines, pengajuan permohonan pailit tersebut sudah memiliki landasan hukum yang kuat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena didasarkan dengan Akta No.24 tanggal 11 Agustus 2014 Pernyataan Keputusan Rapat PT.Mandala Airlines yang didalamnya tercatat nama Paul Rombeek sebagai direktur dan disebutkan bahwa direksi diberi kewenangan sebanyak 6 (enam) poin, salah satu diantaranya menyetujui pemberian kewenangan kepada Direksi untuk mengajukan permohonan pailit. Terkait dengan keberatan yang diajukan oleh Dewan Komisaris terkait legal standing Paul Rombeek selaku Direksi Perseroan, karena telah terjadi kekosongan jabatan Direksi sejak tanggal 17 Desember 2014 dimana hal tersebut terjadi sesudah diajukannya permohonan pailit pada tanggal 09 Desember 2014. Sehingga keputusan Majelis Hakim yang mengesampingkan keberatan Dewan Komisaris karena Majelis tidak menemukan satu alat bukti apapun yang dapat melemahkan Akta No.24 tanggal 11 Agustus 2014 sudah tepat. Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan Perseroan Terbatas. Prinsip ini memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. Kepailitan adalah merupakan salah satu pranata hukum untuk melakukan percepatan likuidasi terhadap subjek hukum yang mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan utang lebih besar dari aset subjek hukum tersebut. Pada kasus Permohonan Pailit oleh debitor sendiri, yakni PT.Mandala Airlines, kepailitan merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran utang terhadap para kreditornya. Perusahaan yang semula diprediksikan akan berjalan sesuai dengan business forecasting / planning ternyata dalam perjalanannya tidak sesuai dengan harapan Karena pada dasarnya prinsip ini tidak dinormakan dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang adalah dasar aturan pailit di Indonesia, maka tidak terlihat dalam putusannya Majelis Hakim mempertimbangkan kemampuan perusahaan apakah masih solven atau tidak meskipun dalam dalilnya PT.Mandala Airlines berusaha membuktikan bahwa perusahaan sedang dalam kondisi bangkrut. Sehingga perlu adanya penambahan persyaratan materiil terhadap pemailitan perseroan terbatas yang diatur dalam ketentuan kepailitan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pembuktian solven atau tidaknya suatu perusahaan.






PENUTUP
Kesimpulan
1.   Pengaturan hukum kepailitan di Indonesia didasarkan pada sejumlah asas-asas dan prinsip-prinsip kepailitan. Dimensi keadilan dari proses kepailitan adalah terletak pada dilindunginya kepentingan dari kedua belah pihak baik para kreditor mupun debitor. Hal tersebut diwujudkan dengan UndangUndang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang didasarkan pada asas keseimbangan, asas kelangsungan, asas keadilan, dan asas integrasi.
2.   Prinsip commercial exit from financial distress yang ditemukan dalam kepailitan perseroan terbatas adalah jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit perseroan, diakibatkan perseroan sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang kepada para kreditornya. Perseroan terbatas yang mengalami kebangkrutan hanya memiliki dua pilihan jalan keluar, yakni pembubaran perusahaan yang didalamnya terdapat alternatif kepailitan ataukah dilakukan recovery perusahaan melalui reorganisasi. Perseroan yang telah menyelesaikan utang-utangnya melalui mekanisme kepailitan dapat menata kembali manajemennya, sehingga dapat memulai usahanya kembali dengan keadaan yang lebih baik (fresh start), dan pada akhirnya dapat membawa pengaruh positif bagi perekonomian negara.
3.   Penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines yang ditetapkan melalui Putusan No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST diterapkan secara benar dan konsisten yakni bahwa kepailitan merupakan pranata yang digunakan sebagai jalan keluar terhadap subjek hukum yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Hal tersebut dapat dilihat dari dalil utama permohonan pailit PT.Mandala Airlines yang mengajukan permohonan pailit (voluntary petition) karena telah mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut (financial distress) akibat ketatnya persaingan usaha dalam kegiatan angkutan udara niaga di Indonesia. Perusahaan yang semula diprediksikan akan berjalan sesuai dengan business forecasting / planning ternyata dalam perjalanannya tidak sesuai dengan harapan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi PT.Mandala Airlines yang sebelumnya telah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dikabulkan melalui Putusan No. 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung No.070/PK/Pdt.Sus/2011 bertujuan untuk melakukan restrukturisasi perusahaan dengan masuknya investor strategis sebagai salah satu pemegang saham PT.Mandala Airlines ternyata gagal, karena PT.Mandala Airlines tetap tidak memperoleh keuntungan setelah PKPU berakhir. PT.Mandala Airlines menjadikan kepailitan sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium) dan lebih mengedepankan reorganisasi perusahaan yang merupakan premium remedium (the first resort).

















DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Subhan, Handi M. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma & Praktik Dipengadilan). Skripsi. Surabaya: Prenada Mulia. 2017
Agusti, Chalendra Prasetya. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kemungkinan Terjadinya Financial Distress. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro. 2013.
Fatah, Ahmad Hanin. Penyebab Financial Distress di PT.Petrowidada. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2002.
Kennardi, Wawan. Tinjauan Yuridis Ekonomi Kebutuhan Tes Insolvensi (Insolvency Test) Pada Permohonan Kepailitan di Indonesia dan Kemungkinan Penerapannya. Tesis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2015.
Prasetya, Rudhi. Teori & Praktik Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus. Cet.ke-4. Jakarta: Kencana. 2014.
Shubhan, M.Hadi. Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana. 2008.
Sjahdeini, Sutan Remy. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Jakarta:Prenadamedia Group. 2016.
Sunarmi. Hukum Kepailitan. Medan: USU Press. 2009. Sunarmi. Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia. Edisi 2. Jakarta: PT.Sofmedia. 2010.
B.     Peraturan Perundang-Undangan Indonesia.
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004, LN Nomor 131 Tahun 2004. TLN No.4443.
Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas. UU No. 40 Tahun 2007. LN Nomor 106 Tahun 2007. TLN No.4756.
Putusan Pengadilan Niaga Nomor 48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST.
C.    Jurnal
Fatmawati, Amelia. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Manufaktur di BEI). Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol.6, No.10, Oktober 2017. ISSN: 2460-0585.
Mantili, Rai. Proses Kepailitan Oleh Debitor Sendiri Dalam Kajian Hukum Acara Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Jurnal Hukum Acara Perdata Adhaper Vol.1 No.2, Desember 2015. ISSN 2442-9090.
Rice, Altman Z-Score: Mendeteksi Financial Distress. Jurnal Wira Ekonomi Mikroskill Vol.5, No.02, Oktober 2015.
D.    Artikel
Pradana, Rio Sandy, “Mandala Airlines Tidak Mampu Lunasi Utang Rp1,8 Triliun”, https://ekonomi.bisnis.com/read/20150723/98/455641/mandala-airlines-tidak-mampu-lunasi-utang-rp18-triliun, diakses pada 2 Desember 2019.
Jatmiko, Bambang Priyo, “Tak Sanggup Bayar Utang, Mandala Air Ajukan Pailit”, https://money.kompas.com/read/2014/12/23/094743226/Tak.Sanggup.Bayar.Utang.Mandala.Air.Ajukan.Pailit, diakses pada 2 Desember 2019.
Nisa, Umi Zhahratun dkk. “Model Prediksi Financial Distress Pada Perusahaan Manufaktur Go Public di Indonesia”, https://docplayer.info/32855206-Model-prediksi-financial-distress-pada-perusahaan-manufaktur-go-public-di-indonesia.html diakses pada 2 Desember 2019.
Sulaiman, Alfin, “Akibat Kepailitan Perusahaan Induk Terhadap Perusahaan Cabang”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5520b504efbbd/akibat-kepailitan-perusahaan-induk-terhadap-perusahaan-cabang/, diakses pada 2 Desember 2019.

Selasa, 19 November 2019

Sejarah & perkembangan hukum agraria diIndonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum agraria di indonesia tidak dapat dilepaskan dari fakta-fakta sejarah mengenai perkembangan hukum agraria diindonesia dimana negara indonesia pernah mengalai penjajahan yang cukup lama, sehingga secara langsung mempengaruhi perkembangan hukumnya. Ketika kaum Kolonial datang, mereka menaklukkan kaum feodal ditanah yang akan mereka kuasai dengan kemampuan militer yang mereka miliki. Namun dibeberapa tempat mereka tidak menggulingkan kekuasaan kaum raja dan bangsawan feodal, mereka memanfaatkan raja dan bangsawan feodal tersebut sebagai perantara mereka dengan rakyat untuk memungut hasil produksi petani dengan berbagai ketentuan yang bersifat menindas. Jadi, kaum feodal yang sebelumnya telah melakukan praktek-praktek pemungutan hasil produksi petani makin diperkuat oleh kolonial untuk kepentingan kaum penjajah. Kaum feodal tentu saja mau melakukannya karena dengan melakukan hal tersebut maka tidak dicopot kekuasaannya. Namun sebaliknya, rakyat petani semakin bertambah bebannya dan semakin menderita karena semakin diperas tenaga dan hasil produksinya.
Dengan demikian, kaum kolonial tidak merombak sistem pemerintahan feodal saat itu tapi mempertahankan sistem tersebut dengan memberikan kekuasaan kepada para bupati dan raja untuk memungut hasil-hasil yang diminta pihak kolonial. Dengan begitu, pola eksploitasi pada rakyat semakin intensif, karena rakyat petani harus memenuhi permintaan kepentingan bupati (sebagai penguasa feodal) sendiri, di satu pihak, dan kepentingan kolonial, di pihak lainnya.
Dalam makalah ini, dipaparkan penjelasan tentang sejarah perkembangan hukum agraria diindonesia dari masa kemasa sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960.
B.     RUMUSAN MASALAH
Masalah adalah sesuatu hal yang menimbulkan pernyataan yang mendorong untuk mencarikan jawabannya atau suatu yang harus di pecahkan Poerwadarminta (1976:634)1.
  ______________________
1    Poerwadarminta, 1976 hal 634
selanjutnya Surachmad (1980 :3)2 juga mengatakan bahwa masalah adalah setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam paper ini adalah Bagaimanakah Sejarah Hukum agraria diindonesia.
­­­­­­­­­           
C.    MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan penyusun membuat Paper ini adalah Agar dapat memahami dan mengerti Bagaimanakah Sejarah dan perkembangan Hukum agraria di Indonesia.
D.    METODE PENYUSUNAN
Metode penyusunan yang digunakan dalam menyusun paper ini yaitu :
1.          Studi Kepustakaan
Merupakan pengumpulan berbagai data dengan cara membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan tema penyusunan paper.
2.          Bahan – bahan yang didapatkan melalui dunia maya (Intenet).

E.     SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan paper ini di bagi menjadi 4 bab, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA, pada bab ini menguraikan sejumlah teori serta pendapat berbagai terhadap fokus penulisan yang akan dilakukan.
BAB III : PEMBAHASAN , Pada bab ini diuraikan sekilas mengenai pengertian dari agraria dan hukum agraria serta menguraikan sumber sumber hukun agraria tersebut dan menceritakan asal mula atau sejarah lahirnya hukum agraria diindonesia.
BAB IV : PENUTUP, Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dari materi sejarah hukum agraria dari Paper yang di buat ini.
_________________
2    Surachmad, 1980 hal 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian
1.      Pengertian Agraria
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.  Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, agrarian berarti berarti  urusan pertanian atau tanah pertanian dan urusan pemilikan tanah.
Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.3
Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.4
Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu diartikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam.
___________________
3 Kamus Hukum yang dikutip dalam buku Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian
Komperhensif, Jakarta: Kencana, 2012, hlm. 1
4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya Jilid 1, Jakarta: Djambatan, cetakan ke-11 (edisi revisi), 2007, hlm. 5
Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang

mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
  1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah  dalam arti permukaan bumi;
  2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
  3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;
  4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
  5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
  6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Dari uraian pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan pengertian agraria dengan membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan pengertian agraria dalam arti sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam arti luas.
2.         Pengertian Hukum Agraria
Istilah hukum identik dengan istilah law dalam bahasa Inggris, dalam bahasa Perancis adalah droit, dalam bahasa Jerman dan belanda adalah Recht, atau dirito dalam bahasa Italia. Menurut Ensiklopedia Indonesia, hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat.
Von Savigny melihat hukum dari perspektif sejarah adanya hukum. Menurutnya, “Das Recht wird nich gemacht, es ist und wird mit dem Volke” (hukum tidak dibuat, ia ada dan menyatu dengan bangsa). Artinya, hukum berakar pada sejarah manusia sehingga dihidupkan oleh keadaan, keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat bangsa. Padmo Wahyono lebih melihat hukum sebagai sarana (tool) dengan membatasi hukum sebagai alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial.
Menurut Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria (Agrarisch recht) adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara (Staatsrecht), tata usaha negara (Administratifrecht), yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut.
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah mengenai bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang melibatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.
Mengacu pada beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum dibuat dalam rangka mengendalikan tingkah laku manusia sekaligus melindungi kepentingan manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial yang hidup dalam suatu masyarakat. Pembuatan hukum harus bermuara pada terciptanya kebaikan bersama dan terwujudnya keadilan dalam masyarakat.
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria, Antara lain:
1.   Hukum Tanah.
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
2.   Hak Atas Tanah
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk  kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1.      Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2.      Hak menguasai negara atas tanah;
3.      Hak ulayat masyarakat hukum adat;
4.      Hak-hak perseorangan, meliputi :
a.       Hak-hak atas tanah, meliputi :
Hak milik atas; Hak guna usaha; Hak guna bangunan; Hak pakai; Hak sewa; Hak membuka tanah; Hak memungut hasil hutan; Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 (UUPA).
b.      Wakaf tanah hak milik;
c.       Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);
d.      Hak milik atas satuan rumah susun.
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu sistem.
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a)      Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.
b)      Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit;
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang haknya.
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang  hak dengan hak atas tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas pemisahan horisontal dan asas pelekatan vertikal.
Asas pemisahan horisontal yaitu suatu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dengan memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut.
Asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.
Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar belakang peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas pelekatan vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata.
Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan5 mengemukakan bahwa sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA.
___________________
5 Djuhaendah Hasan, 1996. Lembaga jaminan kebendaan bagintanah dan benda lain yang melekat
pada tanah dalam konsepsi penerapan asas pemisahan horizontal, Jakarta: Citra Aditya bakti, hlm.35

Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali tentang hipotik. Dengan demikian pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5 UUPA).
3.      Hukum Agraria Dalam Tata Hukum Indonesia
Menurut UUPA Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang bertujuan:
a.   Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
b.   Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan
c.   Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.
4. Sumber Hukum Agraria.
a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di mana dalam Pasal 33 ayat (3) ditentukan :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b. Undang-undang Pokok Agraria.
Undang-undang ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
c.  Peraturan perundang-undangan di bidang agraria :
1.  Peraturan pelaksanaan UUPA
2. Peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.
d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan, masih berlaku.
5. Sumber Hukum Tanah Indonesia
Sumber hukum tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini yaitu status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah, pada saat ini dikenal dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas hak-hak barat dan hak-hak lainnya. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan saat ini. Sumber Hukum Tanah Indonesia dapat dikelompokkan dalam:
1.         Hukum Tanah Adat
a.       Hukum tanah adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya pengakuan.
b.      Hukum tanah adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti autentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak agrarisehe eigendom,  milik yasan, hak atas druwe, atau hak atas druwe desa, pesini, Grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijdciurente erpacht,  hak usaha atas tanah bekas partikelir, fatwa ahli waris, akta peralihan hak, dan surat segel di bawah tangan, dan bahkan ada yang memperoleh sertifikatserta surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia), dan hak-hak lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta masih diakui secara internal maupun eksternal.
2.         Kebiasaan
3.         Tanah-tanah Swapraja
4.         Tanah Partikelir
5.         Tanah Negara
a. tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yang sudah diwakafkan.
b. tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak menguasai dari negara kepada pemegang haknya.
c. tanah-tanah hak ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat teritorial dengan hak ulayat.
d. tanah-tanah kaum, yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat geneologis.
e. tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan hak menguasai negara.
f. tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang bukan tanah hak, bukan wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan. Tanah-tanah ini, tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh negara untuk singkatnya disebut tanah negara.
6.         Tanah Garapan
7.         Hukum Tanah Belanda
8.         Hukum Tanah Jepang
9.         Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda
10.       Penguasaan Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Negara Belanda Lazimnya Dikenal dengan Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-Benda Milik Belanda (P3MB).
11.       Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (VB)
12.       Tanah Bondo Deso
13.       Tanah Bengkok
14.       Tanah Wedi Kengser
15.       Tanah Kelenggahan
16.       Tanah Pekulen
17.       Tanah Res Extra Commercium
18.       Tanah Absentee
19.       Tanah Oncoran dan Tanah Bukan Oncoran

  
BAB III
PEMBAHASAN
HUKUM AGRARIA
1.   UNDANG- UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA) 1960
Setelah 15 tahun Indonesia merdeka maka Pada tanggal 24 September 1960, rancangan Undang Undang yang telah disetujui oleh DPR-GR  disahkan oleh Presiden menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menurut diktumnya yang ke 5 dapat disebut, dan selanjutnya memang lebih terkenal, sebagai Undamg-Undang Pokok Agraria (UUPA). Lahirnya UUPA bukan proses yang pendek. Karena setelah Indonesia merdeka, sejak awal sebenarnya pemerintah telah mulai memperhatikan masalah agraria. Mulai Panitya Agraria Yogya (1948), Panitya Jakarta (1951), Panitya Suwahjo(1956), Rancangan Soenarjo(1958), dan akhirnya Rancangan Sadjarwo(1960). Lahirnya UUPA-1960, yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, No.56 tahun 1960 (yang dikenal sebagai Undang-Undang ³Landreform´) sebenarnya merupakan hasil dari usaha untuk meletakkan dasar strategi pembangunan seperti yang dianut juga oleh berbagai Negara Asia pada masa awal sesudah Perang Dunia kedua (Jepang, Korea, Tiwan, India, Iran, dan lain-lain). Namun dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun setelah Indonesia merdeka, kondisi social politik serta kurangnya dana memang tidak memungkinkan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi secara teratur. Demikian pula program Landreform mengalami hambatan besar.
Sesungguhnya, semangat dan jiwa UUPA pada hakekatnya bersifat kerakyatan, populistik (dalam arti komunistik, sekaligus bukan kapitalistik). Kerangka UUPA itu disusun dalam kondisi yang ada saat itu. Sebagai sebuah Undang-Undang yang berisi peraturan-peraturan dasar. diperlukan penjabaran lebh lanjut. Namun, sebagian besar hal itu belum sempat tergarap keburu terjadi pergantian pemerintah dari yang lama ke pemerintahan Orde Baru yang mengambil dasar keebijakanyang sama sekali berbeda.
1a. Apa saja isi UUPA
Dengan berlakunya UUPA, berarti telah dicabut segala peraturan hukum agraria kolonial yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu:
1. "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
2. "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118); "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A; "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; "Domeinverklaring untuk
keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini;
Salah satu dasar pertimbangan dalam merumuskan UUPA ini adalah bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Sebagai implementasi dari ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia, maka dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA telah ditentukan bahwa hak menguasai dari negara yang dimaksud adalah memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Adapun tujuan dalam pembentukan UUPA ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3), yakni bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Untuk menunjukkan kepemihakan terhadap rakyat dalam pengaturan UUPA ini, dapat dilihat dalam Pasal 11 dan 13. Dari berbagai ketentuan dasar tersebut, selanjutnya UUPA juga menentukan mengenai hak-hak masyarakat atas tanah yang dapat dibedakan menjadi:
a. Hak milik (Pasal 20-27)
b. Hak guna usaha (Pasal 28-34)
c. Hak guna bangunan (Pasal 35-40)
d. Hak pakai (Pasal 41-43)
e. Hak sewa untuk bangunan (Pasal 44-45)
f. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (Pasal 46)
g. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (Pasal 53) yakni hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Selain hak-hak yang disebutkan tersebut,terdapat hak-hak atas bagian lain dari tanah yakni terdiri dari hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47) serta hak guna ruang angkasa (Pasal 48).Dengan pemberlakuan UUPA tersebut pemerintah mulai menata pembagian dan penguasaan struktur kepemilikan tanah Indonesia karena selama masa kolonial pola kepemilikan masyarakat atas tanah sangat tidak adil dan tidak teratur. Untuk menjalankan suatu redistribusi kepemilikan tanah, pemerintah membuat sebuah UndangUndang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang disebut sebagai Undang-Undang Landreform Indonesia. Sejak program ini berjalan pemerintah berhasil mendistribusikan sekitar 800.000 hektar tanah kepada 850.000 kepala keluarga.6
____________________
6 Elza Syarief, Op.Cit., hlm.121


Mengingat kekhususan dari perkara-perkara yang terkait dengan program tersebut, pemerintah Soekarno membentuk badan peradilan tersendiri yaitu Pengadilan Landreform dengan dasar pembentukan Undang-Undang No.21 Tahun 1964.7 Namun kegiatan landreform ini tidak berlangsung lama seiring bergantinya pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1965. Bahkan Pengadilan Landreform pun akhirnya dihapuskan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform. Pemerintah baru ini mempunyai kebijakan yang sama sekali lain, sehingga untuk jangka waktu yang cukup lama UUPA masuk peti es, sedangkan kebutuhan agraria di sektor lain mendesak, maka lahirlah pada masa awal orde baru berbagai undang-undang pokok lain yang kemudian membuat tumpang tindih dan rancunya masalah pertanahan.8
1b. Bagaimana Proses terbentuknya UUPA
Selama masa penjajahan, feodalisme dan kolonialisme membuat rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan. Kemiskinan dan ketertindasan itu menjadi daya dorong yang melahirkan suatu gagasan dan gerakan (nasionalisme) kemerdekaan di Indonesia untuk menyingkirkan unsur-unsur kolonial Hindia Belanda yang terdiri dari gabungan kepentingan kaum feodal dan kaum kapitalis asing. Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa peraturan perundang-undangan di bidang agraria yang dibuat oleh pemerintah jajahan, baik Belanda maupun Inggris sangat tidak berpihak kepada rakyat Indonesia.
Keadaan darurat akibat suasana perebutan kekuasaan antara pemerintah lama dengan pemerintah baru menyebabkan perubahan tatanan lama dengan tatanan masyarakat baru tidak dapat dilakukan dengan segera. Kelemahan ini ditutupi oleh pemerintah dengan pernyataan dalam Undang-Undang Dasar pada Pasal 2 aturan peralihan bahwa: “Sepanjang badan kekuasaan dan peraturan-peraturan belum diganti dengan yang baru masih tetap berlaku.” Karenanya, sistem hukum pemerintah kolonial masih tetap digunakan sebagai dasar-dasar perilaku masyarakat, termasuk juga undang-undang agraria. Keadaan ini sangat tidak disukai oleh kalangan ahli hukum jaman itu. Mereka menuntut diadakannya suatu perubahan dan perombakan seluruh tata hukum masyarakat kolonial dan perombakan struktur sosial ekonominya.
___________________
7 Elza Syarief, Op.Cit., hlm.167
8 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm.86-87
 Setelah sekitar 15 tahun Indonesia merdeka barulah lahir UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kelahiran UU No. 5 Tahun 1960 sebelumnya telah  melalui proses yang panjang, yaitu dimulai dengan didirikannya panitia Yogya pada tahun 1948; panitia Jakarta (1951), panitia Soewahjo (1956), rancangan Soenario (1958), dan yang terakhir rancangan Soedjarwo (1960). Adapun penjelasan proses-prosesnya sebagai berikut:
a)      Panitia Yogya (1948)
Panitia ini didirikan pada tanggal 12 Mei 1948 dengan surat penetapan presiden Soekarno No 16 yang mana panitia ini terkenal dengan sebutan “Panitia Agraria Yogya” (PAY) dan diketuai oleh Sarmin Reksodihardjo. Tugas yang diemban oleh panitia ini adalah mengembangkan pemikiran-pemikiran untuk sampai kepada usulan-usulan dalam rangka menyusun hukum agraria baru pengganti hukum kolonial yang berlaku di Indonesia sejak 1970. Panitia ini beranggotakan pejabat utusan dari kementrian dan jawatan-jawatan, wakil organiisasi-organisasi petani yang juga anggota KNIP, wakil dari serikat buruh perkebunan dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum adat. PAY hanya dapat menghasilkan karyanya dalam sebuah laporan yang disampaikan kepada presiden pada tanggal 03 Februari 1950. Dan pada akhirnya PAY dibubarkan pada tanggal 09 Maret 1951 oleh presiden atas dasar pertimbangan berpindahnya ibu kota negara ke Jakarta dan agresi militer Belanda II. Selanjutnya tugas dan amanat dilanjutkan oleh Panitia Agraria Jakarta (PAJ).
b)      Panitia Jakarta (1951)
Panitia ini juga diketuai oleh Sarimen Reksodihardjo, namun dalam perjalanannya sempat diganti oleh Singgih Praptodihardjo. Panitia jakarta ini, selain mengembangkan gagasan Panitian Yogya,juga menghasilkan usulan-usulan baru adapun usulan-uasulan baru tersebut adalah: (a) dianggap perlu adanya penetapan batas luas maxsimum dan batas minimum; (b)yang dapat memiliki tanah untuk usaha kecil hanya WNI; (c) pengakuan hak rakyat atas undang-undang. Selanjutnya, PAJ ini juga dibubarkan karena dianggap tidak mampu menyusun RUU.[14]
c)      Panitia Soewahjo (1956)
Panitia ini dibentuk setelah Indonesia selesai melakukan Pemilu 1955, bertepatan dengan terbentuknya kabinet baru hasil Pemilu tersebut. Diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo yang beranggotakan pejabat-pejabat pebagai kementrian jawatan, ahli-ahli hukum adat, dan wakil-wakil organisasi petani. Mandat utama yang diemban oleh panitia ini adalah menyusun secara kongkret Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria Nasional, setelah sebelumnya terdapat berbagai masukan dari panitia sebelumnya. Dasar acuannya adalah pasal 26, 37, dan 38 dari Undang-Undang Dasar sementara (UUDS 1950). Namun pada tanggal 6 Februari tahun 1957, panitia ini berhasil menyusun RUU, yang memuat antara lain butir-butir penting berikut ini: (a) asas domein dihapuskan diganti dengan asas “hak menguasai oleh negara”, sesuai dengan kententuan pasal 38 ayat (3) UUDS; (b) asas bahwa tanah pertanian dikerjarkan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi rancangan ini belum sempat disampaikan kepada DPR. Dengan demikian, pada tahun ini pula panitia ini dibubarkan karena tugas-tugasnya telah selesai.
Panitia Soenario (1959)
Dengan beberapa perubahan, sistematika dan perumusan sejumlah pasal, maka rancangan Panitia Soewahjo terebut dijadikan dokumen yang dikenal sebagai Rancangan Soenario. Rancangan ini diajukan oleh Menteri Agraria Soenario kepada Dewan Menteri pada 14 Maret 1958. Rancangan ini disetujui oleh Dewan Menteri pada sidangnya yang ke-94 pada 1 April 1958, untuk selanjutnya diajukan kepada DPR dengan Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No.1307/HK.
Pembahasan di DPR dilakukan dalam beberapa tahap. Jawaban terhadap pemandangan umum DPR terhadap Rancangan Soenardjo ini diberikan oleh Menteri Agraria Soenario, pada sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958. Selanjutnya, diputuskan bahwa DPR memandang perlu mengumpulkan bahan-bahan yang lebih lengkap. DPR membentuk panitia adhoc yang diketuai oleh AM. Tambunan. Panitia adhoc ini banyak memperoleh masukan dari Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada (yang diketuai oleh Prof. Notonegoro) dan ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro. Namun, pembicaraan sidang pleno selanjutnya menjadi tertunda-tunda.
Sehubungan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tentang berlakunya kembali UUD 1945, maka Rancangan Undang Undang Pokok Agraria Soenario, yang memakai dasar UUDS, ditarik kembali dengan surat pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No.1532/HK1960.
Setelah disesuaikan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan Manifesto politik Indonesia (yaitu pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959), dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukan Rancangan Undang Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo. “Rancangan Sadjarwo” itu disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya pada 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet-Pleno dalam sidangnya pada 1 Agustus 1960. Dengan Amanat Presiden tanggal 1 agustus 1960 No.2584/HK/60 rancangan tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Setelah selesai dilakukan pemeriksaan pendahuluan, pembahasan di sidang-sidang komisi yang bersifat tertutup, pemandangan umum, sidang-pleno, pada 14 September 1960 dengan  suara bulat DPR-GR   menerima baik rancangan UUPA itu. Semua golongan di DPR-GR, baik Golongan Nasionalis, Golongan Islam, Golongan Komunis, dan Golongan Karya, menyetujuinya.
1c. Perkembangan undang-undang Agraria paska terbentuknya UUPA
Belum sampai terlaksana sepenuhnya apa yang diprogramkan dalam Reformasi Agraria pada masa Orde Lama, terjadi tragedi nasional dalam tahun 1965, yang melahirkan Orde Baru. Penguasa Orde Baru mewarisi situasi nasional dalam keadaan perekonomiaan Negara yang menyedihkan dan konstelasi politik yang dinilai sebagai penyimpangan dasar dari sila-sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ciri kebijakan pemerintah Orde Baru ditandai oleh dua hal pokok antara lain:
Pertama : Secara umum, strategi pembanguannya mengandalkan kepada bantuan, hutang, dan investasi dari luar negeri, dan bertumpu kepada ‘yang besar´(betting on the strong), tidak berbasis pada potensi rakyat.
Kedua : Khusus dalam hal kebijakan masalah Agraria, disadari atau tidak oleh para perumus kebijakan pada masa awal Orde Baru itu, Indonesia mengambil jalan apa yang sekarang dikenal sebagai  By-pass Approach, atau pendekatan jalan pintas. Alur pemikiran pendekatan ini adalah sebagai berikut :reforma agraria umumnya lahir sebagai respon terhadap suatu stuktur agraria yang terasa tidak adil, yang pada gilirannya berpotensi bagi terjadinya konflik agraria. Untuk menangani konflik agraria, orang harus memahami dulu apa maknanya. Penganut pendekatan jalan pintas berpandangan bahwa (sebagai asumsi dasar) makna konflik agraria adalah masalah pangan.
Karena itu, buat apa susah susah melakukan reforma agraria? Kita tangani saja secara langsung masalah pangan. Kebetulan lahirnya Orde Baru bersamaan waktunya dengan Revolusi Hijau di Asia. Maka diambillah jalan pintas, mengusahakan tercapainya swasembada pangan melalui Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria. Swasembada pangan memang pernah dicapai, namun ternyata konflik agraria bukannya lenyap melainkan justru terjadi dimana-mana. Salah satu produk hukum pertama Penguasa Orde Baru adalah Undang-Undang Nomor 5Thun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam praktek pelaksanaan nya Undang - Undang tersebut juga menimbulkan kenyataan perlakuan yang tidak adil pada masyarakat hukum adat dan warganya, yang tanah ulayatnya diberikan dengan Hak Pengusahaan Hutan kepada pengusaha. (bertentangan dengan UUPA).
Ketentuan-ketentuan landreform, biarpun formal tidak dicabut selama Era Orde Baru tidak tampak dilaksanakan, dengan segala akibatnya dalam penguasaan tanah-tanah pertanian, baik yang mengenai batas luas maupun lokasinya. Biarpun kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya berbeda dengan semangat yang melandasi UUPA, tetapi undang-undang tersebut dan peraturan-peraturan pelaksanaannya selama Orde Baru masih dapat memberikan dukungan legal yang diperlukan tanpa mengalami perubahan formal substansinya.
Untuk menarik minat para investor, pemerintah mulai membuat beberapa regulasi untuk membuka peluang eksplorasi tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memikat investor asing, tahun 1967 Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) diberlakukan, selanjutnya lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan serta berbagai undang-undang sektoral lain tentang minyakgas dan pengairan.9
Kebijakan pemerintah orde baru ini lebih fokus hanya kepada pembangunan dengan penguasaan tanah secara besar-besaran oleh negara untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh para investor yang bermodal besar,namun hakhak dari masyarakat atas tanah jadi terlupakan. Ternyata undang-undang tersebut tidak menjadikan UUPA sebagai basisnya, regulasi-regulasi ini pun tumpeng tindih dan inkonsisten satu sama lain.10
Dengan makin rumitnya masalah pertanahan dan makin besarnya keperluan akan ketertiban di dalam pengelolaan pertanahan, makin dirasakan keperluan akan adanya peraturan pelaksanaan UUPA yang menerapkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak atas tanah. Sebagai hak atas tanah yang masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu (hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai), hak-hak tersebut memerlukan kejelasan mengenai beberapa hal antara lain mengenai persyaratan perolehannya, kewenangan dan kewajiban pemegangnya, dan status tanah dan benda-benda di atasnya sesudah hak itu habis jangka waktunya.
__________________
9  Elza Syarief, Op.Cit., hlm.123
10 Elza Syarief, Op.Cit., hlm.123
Kejelasan itu sangat diperlukan untuk memberikan beberapa kepastian hukum, baik kepada pemegang hak, kepada pemerintah sebagai pelaksana UUPA, maupun kepada pihak ketiga.11 Beberapa peraturan pun mulai dibentuk untuk mengatur pelaksanaan perundang-undangan tentang pertanahan sebagai objek dasar agraria seperti Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Perolehan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan BPN No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah, dan sebagainya. Perjalanan UUPA selanjutnya terus diiringi dengan penerbitan perundang-undangan yang merupakan perluasan dari urusan keagrariaan di Indonesia, antara lain:
1. Terkait pertanahan.
a. Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya,
b. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
c. Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
2. Terkait pertanian
a) Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
3. Terkait perkebunan
a) Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
_______________
11 Penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Paaki Atas Tanah
  
4. Terkait perikanan
a) Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
b) Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
5. Terkait pertambangan
a. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,
c. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
6. Terkait kehutanan
a. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
7. Terkait pembangunan
a. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
b. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
c. Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
1d. Masa Reformasi
Orde Reformasi tampak membawa perombakan yang asasi dalam kebijakan pembangunan nasional di bidang ekonomi, sebagai yang ditetapkan dalam kebijakan pembangunan nasional di bidang ekonomi, sebagai yang ditetapkan dalam TAAP MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang berbeda benar dengan kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru. TAP MPR tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan, bahwa pelaksanaan Demokrasi Ekonomi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945 belum terwujud. Dinyatakan dalam TAPMPR tersebut, bahwa politik ekonomi mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip dasar Demokrasi Ekonomi, yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak, untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945. Politik Ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi nasional, agar terwujud pengusaha menengah yang kuat dan besar  jumlahnya, serta terbentuk keterkaitan dan kemitraan yang saling menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha kecil, menengah dan koperasi, usaha besar swasta dan Badan Usaha Milik Negara, yang saling memperkuat untuk mewujudkan Demokrasi Ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya, harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk penguasaan dan kepemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah, kopersi, serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan pertanian rakyat, yang mampu melibatkan serta memberi sebesar besarnya kemakmuaran bagi usaha kecil, menengah, dam koperasi. Demikian garis besar kebijakan pembangunan bidang ekonomi Orde Reformasi, yang berbeda benar dengan kebijakan Penguasa Orde Baru, tetapi sejalan dengan semangat yang terkandung dalam UUPA, sebagai yang dikemukakan di atas. Kebijakan Orde Reformasi tentang keberpihakan pada rakyat banyak, khususnya usaha kecil menengah dan koperasi. Tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara.
Kebijakan di bidang ekonomi sebagaimana yang dikemukakan di atas kiranya sesuai dengan semangat yang melandasi Hukum Tanah yang ada sekarang, yang konsepsi, asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokoknya dituangkan dalam UUPA. Maka reformasi di bidang Hukum Tanah yang perlu diadakan, bukan merupakan kegiatan perombakan, melainkan penyempurnaan lembaga dan ketentuan-ketentuanya, hingga bisa memberikan dukungan legal dan substansial yang lebih mantap bagi terwujudnya tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan ekonomi baru ,yang kembali kepada pengutamaan kepentingan rakyat banyak.Dalam rangka mewujudkan tujuan kebijakan Orde Reformasi di atas,penyempurnaan yangdimaksud yaitu,antara lain berupa penyelesaian pembentukan undang-undang yang mengatur Hak Milik atas tanah, penegasan dan pemasyarakatan asas-asas dan tata cara perolehan tanah untuk berbagai keperluan pembangunan, pengaturan penanganan tanah, pembatasan pemilikan tanah non pertanian, penyempurnaan ketentuan mengenai pembardayaan tanah-tanah terlantar, penyesuaian ketentuan-ketentuan landeform dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan pembangunan serta pengaturan kembali pembagian kewenangan di bidang pertanahan dalam rangka dekonsentrasi dan medebewind.

2.   UNDANG-UNDANG AGRARIA MASA 1945 SAMPAI TERBENTUKNYA UUPA TAHUN 1960.
Diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakat sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut :
1.   Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha. pendudukan oleh rakyat  seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.
2.               Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
3.               Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahaya erosi dan penyerapan air.
4. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :
1.  Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;
2. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan :
a.  Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yangbersangkutan;
b.  Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.
Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut :
1.   Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;
2.   Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
3.  Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini diberlakukan;
4.   Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2.   Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3.   Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4.  Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.
Dalam bidang keagrariaan selama masa penjajahan terdapat dualisme hukum agraria yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang melahirkan tanah hak milik adat, tanah ulayat, tanah yayasan, tanah golongan dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat (kolonial) yang melahirkan tanah hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal, tanah hak erfpacht, tanah hak gebruik (hak pakai),
dan sebagainya.12 Terlepas dari penjajahan Jepang (1945), Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Para pemimpin bangsa mulai memikirkan untuk melakukan pembangunan hukum baru yang terlepas dari ketidakadilan hukum colonial termasuk hukum agraria kolonial. Pengaturan hukum agraria menjadi salah satu hal yang difokuskan untuk diubah dalam upaya memperbaiki tatanan pengaturan hak agraria masyarakat Indonesia dari ketidakadilan hukum kolonial. Beberapa peraturan yang dihasilkan antara lain terdapat Undang-Undang No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1958 tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria.13
­­­­­­­­                ______________
12 A. Ridwan Halim, Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan ke-2 1988, hlm. 27
13 Elza Syarief, Op.Cit., hlm. 116

3.   UNDANG-UNDANG AGRARIA MASA AGRARISCHE WET 1870 – 1945.
Sesuai dengan sistem pemerintahan pada jaman Hindia Belanda, daerah Indonesia dibagi atas 2 bagian yang mempunyai lingkungan hukum sendiri yaitu Daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama Pemerintah Pusat dan disebut dengan Daerah Gubernemen dan Daerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat yang disebut dengan daerah swapraja (Dirman, 1952: 13).
Menurut pasal 21 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS), bahwa peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat hanya berlaku di daerah-daerah gubernemen saja. Jika peraturan-peraturan Pemerintah Pusat akan diberlakukan di daerah Swapraja harus dinyatakan dengan tegas di dalam peraturah tersebut bahwa juga berlaku untuk daerah Swapraja atau ditegaskan dengan suatu peraturan lain.
Sebagai contoh :
Pasal 1 Agrarisch Besluit (S. 1870 -118) tentang “tanah negara’ (Staatsdornein) tidak berlaku untuk daerah-daerahswapraja.
“Tanah mentah “ (Woeste gronde) di daerah-daerah swapraja tidak ditetapkan siapa pemiliknya menurut Pasal 1 Agrarisch Besluit.
Secara singkat pemerintah belanda mulai memberlakukan Agrarische Wet kepada pengusaha swasta asing atas desakan dari para kolongmerat belanda dan aktifis HAM dari Belanda yang mengecam kultur stelsel (kerja rodi). Secara logis, culture stelsel merugikan pemilik modal swasta yang ingin berinfestasi karena pembatasan kepemilikan tanah oleh pemerintah dengan maksimal sewa tanah 20 tahun. Setelah berlakunya Agrarische Wet hak erfpacht mulai dapat di terapkan pada Indonesia. Seiring berjalanya waktu praktek hak erfpacht mulai bergeser menjadi hak eigendom dan pemerintah Belanda merasa cultur stelsel memberi keuntungan kepada pemerintah sehingga terjadilah percampuran hukum pada Agrarische Wet.
Dengan kebijakan pemerintah Belanda Agrarische Besluit (Stb 1870 No. 118) Pasal 1 AB :
“Semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan, bahwa tanah itu tanah eigendomnya adalah domein Negara”
Dengan adanya pasal tersebut pihak kesultanan Kerataon Yogyakarta membuat peraturan : RIJKSBLAD Yogyakarta 1918 No. 16 :
“ Sakabehi bumi kang ora ono tondo yektine kadarbe ing liyo mawawa wenang egendom dadi bumi kagungane keratin ingsun Ngayugjokarto”
Artinya : Semua bumi (tanah) yang tidak memiliki tanda bukti (hak milik) eigendom, maka menjadi hak milik keraton Jogjakarta.
Pada akhirnya bergantilah kependudukan Belanda tergantikan oleh Jepang. Pada pendudukan Jepang yang singkat, hukum agrarian tak sempat terjamah untuk mengalami perubahan peratuaran oleh pemerintah jepang.
ada juga Agrarische Reglement (peraturan agraria) yang diterbitkan untuk mengatur hak milik pribumi di wilayah luar Jawa dan Madura.14  Pada ayat (4) Agrarische Wet 1870 disebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht15 selama 75 tahun. Kemudian perihal ketentuan pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu yang penting adalah Agararisch Besluit (keputusan agraria) yang hanya berlaku di Jawa dan Madura, yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, di mana dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom), adalah hak domein negara.”
__________________________
14 Cornelis van Vollenhoven, Op.Cit., hlm. 168
15 Erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberi kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain, dan boleh menggunakan semua kewenangan yang terkandung dalam eigendom atas tanah. Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan ke-5, 2012, hlm. 48-49
Domein negara artinya milik mutlak negara, biasa dikenal dengan Domein Verklaring. Rakyat Indonesia benar-benar berada pada masa ketidakadilan dengan terampas kemerdekaan dan haknya atas tanah mereka sendiri. Masa kolonial telah memperbudak rakyat sekaligus negara Indonesia untuk melayani kebutuhan orang-orang Belanda memperkaya diri dari hasil pertanian dan perkebunan Indonesia. Beberapa abad penjajahan kolonial itu telah menjadi bagian dari perjalanan hukum agraria yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Memasuki masa Perang Dunia II antara blok barat dan blok timur, kedudukan Belanda mulai tergeser dan Indonesia jatuh di bawah kekuasaan penjajahan Jepang. Sejak tahun 1942 Jepang mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan kolonial. Pemerintahan jepang mengeluarkan kebijakan yang mentolerir dan mendorong rakyat untuk menggarap tanah-tanah perkebunan dan tanah terlantar yang menimbulkan persepsi bahwa rakyat bisa memperoleh kembali tanah mereka yang dulu digusur oleh pemerintah colonial Belanda.Namun tetap saja para petani penghasil padi dikenakan kewajiban menyerahkan hasil produksinya kepada pemerintah sebagai semacam pajak.16
Menteri  Van de Putte jatuh karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Pada tahun 1867/1868, pemerintah jajahan lalu mengadakan suatu penelitian tentang hak-hak penduduk Jawa atas tanah, yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Namun ternyata, pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian tersebut. Pada tahun 1870, enam tahun sebelum laporan itu terbit, Menteri Jajahan de wall mengajukan RUU yang akhirnya diterima oleh parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayat ini kemudian ditambahkan kepada 3 ayat dari pasal 62 RR, yang kemudian dijadikan pasal 51 dari Indische Staatsreggeling (IS). Inilah yang disebut dengan Agrarische Wet 1870, yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) BO.55, 1870.
Dengan demikian tahun 1870 merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah agraria di Indonesia. Karena sejak itu maka berduyun-duyunlah modal swasta Eropa masuk ke Indonesia. Muncullah perkebunan swasta besar di Sumatera dan juga Jawa. Tujuan Undang-Undang Agraria 1870 untuk memberikan kesempatan luas bagi modal swasta asing memang berhasil. Tapi tujuan lainnya, yaitu melindungi dan memperkuat hak tanah bagi bangsa Indonesia asli ternyata jauh dari harapan.
________________
16 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm.80

Hal ini terjadi karena banyak para sultan yang memberikan konsesi atas tanah nya kepada pihak asing, dengan kata lain mengabaikan kepentingan rakyat nya, Hal ini menyebabkan kemiskinan masyarakat Indonesia asli. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Kolonial membentuk Panitia Penyelidik Kemiskinan (Mindere Welvaart Commissie) pada tahun 1902. Namun laporan lengkap penelitian itu (MindereWelvaart Onderzoek) ternyata baru selesai tahun 1920. Pencerminan rasa bersalah pemerintah Belanda ditunjukkan dengan di bentuknya kebijakan baru yang terkenal dengan istilah ³Politik Etis´ dengan tokoh utamanya C.Th. van Deventer. Mulai awal abad ke-20 itu pemerintah berusaha memperbaiki keadaan melalui enam bidang yaitu, irigasi, reboisasi, transmigrasi, system perkreditan, pendidikan dan kesehatan masyarakat.Walaupun disana sini usah tersebut memang dirasakan hasilnya, namun kebijaksanaan ini secara fundamental tidak berhasil mentransformasikan masyarakat pedesaan. Kebijaksanaan perkreditan misalnya, dianggap tidak bersifat memacu perubahan dan perkembangan ekonomi, melainkan sekedar mempertahankan ³statusquo´.

4.   UNDANG-UNDANG AGRARIA MASA PERUBAHAN UUD BELANDA 1848 (1848-1870)
Terjadi pertentangan antar kaum liberal yang menentang Cultuurstelsel dengan kaum konservatif. Kemenangan pertama dipetik oleh golongan liberal ketika pada tahun 1848 akhirnya Undang-Undang Dasar Belanda dirubah yaitu dengan adanya ketentuan di dalamnya yang menyebutkan bahwa pemerintahan di tanah jajahan harus di atur dengan undang-undang. Undang-Undang yang dimaksud ternyata baru selesai pada tahun 1854, yaitu dengan keluarnya Regerings Regelment (RR) 1854. Pada tahun 1865 Menteri Jajahan Frans Van de Putte, seorang liberal, mengajukan Rancangan Undang-Undang, yang isi nya antara lain adalah bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selam 99 tahun; hak milik pribumi diakui sebagai hak milik mutlak (eigendom); dan tanah komunal dijadikan hak milik perorangan eigendom. Ternyata RUU ini ditolak oleh parlemen, demikianlah sampai saat itu tujuan golongan swasta Belanda untuk menanam modalnya di bidang pertanian di Indonesia belum tercapai.


5.   UNDANG-UNDANG AGRARIA ZAMAN “CULTUURSTELSEL” (1830-1848)
Gubernur Jenderal Van den Bosch melaksanakan apa yang disebut cultuurstelsel atau tanam paksa. Dasarnya adalah teori Raffles (domein), yaitu bahwa tanah adalah milik pemerintah. Para Kepala Desa dianggap menyewa kepada Pemerintah, dan selanjutnya Kepala Desa meminjamkan kepada petani. Maka isi pokok Cultuurstelsel bahwa 1/5 dari tanah si pemilik tanah harus ditanami dengan tanaman tertentu yang dikehendaki oleh pemerintah, seperti nila, kopi, tembakau, dan sebagainya, kemudian harus diserahkan kepada Pemerintah (untuk di ekspor ke Eropa). Hasil politik “Tanam Paksa” ini ternyata melimpah bagi Pemerintah Belanda, sehingga menimbulkan iri hati bagi kaum pemilik modal swasta.
Memasuki masa pemerintahan Van den Bosch, pada tahun 1830 diterapkan sebuah system tanam paksa (Cultuurstelsel), yakni dengan pemiadaan pembayaran pajak dari para petani di desa namun digantikan dengan kewajiban menanami 1/5 tanahnya dengan tanaman seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan sebagainya untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah (untuk di ekspor ke Eropa).17 Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah Belanda secara cuma-cuma, tanpa ada imbalan apapun.Kondisi ini semakin mengerdilkan hak agraria rakyat Indonesia sebagai pemilik asli tanah Indonesia. Rakyat Indonesia benar-benar dijadikan budak untuk memperkaya Belanda. Begitu banyak hasil kekayaan alam Indonesia dikeruk secara sia-sia karena para petani tidak mendapatkan imbalan atas hasil tanaman yang diberikannya pada Belanda. Sistem ini mendatangkan kritik habis-habisan, antara lain oleh Edouward Douwes Dekker (Multatuli), lalu akhirnya sebagai jawabannya dikeluarkan kebijakan Regerings Reglement yang dalam Pasal 64 dinyatakan bahwa Gubernur Jenderal dilarang menjual tanah kecuali tanah sempit bagi perluasan kota dan industri dan boleh menyewakan tanah berdasarkan Ordonnantie (peraturan) kecuali tanah hak ulayat.18

 ______________________
17 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm. 70-71
18 Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 13
6.   UNDANG-UNDANG AGRARIA MASA PEMERINTAH INGGRIS (1811-1816)
Sebagai Gubernur Jendral di Indonesia, Raffles menginginkan agar langkah politiknya memperoleh pembenaaran, yaitu “teori domein” nya. Maka pada tahun 1811, dibentuklah sebuah Panitia Penyelidikan yang diketuai oleh Mackenzie dengan tugas melakukan “penyelidikan statistik mengenai keadaan agrarian”. Berdasarkan hasil penyelidikan inilah Raffles menarik kesimpulan bahwa “semua tanah adalah milik raja atau pemerintah”. Inilah yang dikenal sebagai teori domein dari Raffles. Sehingga dibuatlah system penarikan pajak bumi (landrente), yaitu setiap petani diwajibkan membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanah garapannya. Teori Raffles ini ternyata mempengaruhi kebijakan agraria selama sebagian besar abad ke -19. Setelah bangkrutnya VOC pada awal abad ke-19, kekuasaan pemerintah Belanda dipatahkan oleh balatentara Inggris dan pada tahun 1811 Belanda harus menyerahkan Pulau Jawa kepada Inggris.19 Di bawah pemerintahan Raffles dibentuklah sebuah panitia dengan tugas melakukan penyelidikan statistic mengenai keadaan agraria, dan atas hasil penyelidikan itu Raffles berkesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah Inggris (teori Domein).20 Raffles mewujudkan pemikiran tentang pajak yang dikenal dengan nama Landrent  (pajak tanah). Landrent tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.21 Berdasarkan ketentuannya itu, penduduk pribumi hanya dianggap menumpang dan dibebani tanggung jawab untuk membayar pajak dalam pemakaian tanah raja atau pemerintah Inggris. Kemudian dengan dibentuknya perjanjian pada 13 Agustus 1814 antara Inggris dan Belanda, maka semua jajahan Belanda yang diwaktu peperangan terakhir diduduki oleh Inggris akan dikembalikan kepada Belanda.22
  _________________
19  Mr R Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, xxxx, hlm. 43
20 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm. 70
21 Muchsin dkk., dan Soimin, Op.Cit., hlm. 12
22 Supomo dan Djoksutono, Op.Cit., hlm. 83
7.   UNDANG-UNDANG AGRARIA MASA PRA-KOLONIAL
Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal kerajaan-kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana. Agaknya, pada masa itu konsep “pemilikan” menurut konsep Barat (“property”,”eigendom”) memang tidak dikenal, bahkan juga bagi penguasa. Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya “dimiliki” oleh pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan ataupun menjual hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.
Pada awal abad ke-19 VOC bangkrut dan penguasaannya digantikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Gubernur Jendral Daendels memprakarsai perubahan-perubahan administrasi untuk meciptakan kekuasaan politik yang lebih sistematis. Tetapi sejauh itu masalah penguasaan tanah secara formal belum memperoleh perhatian sepenuhnya.  Barulah ketika pemerintahan Inggris menggantikannya (1811-1816) saat Raffles memperkenalkan teorinya yang terkenal itu, yaitu teoridomein, masalah keagrariaan memperoleh perhatian yang sebenarnya. Zaman Raffles inilah yang dapat dianggap sebagai “tonggak sejarah” yang pertama dalam soal keagrariaan, di Indonesia.
Perkembangan hukum agraria sudah dimulai sejak zaman kerajaan, dimana tanah bukanlah benda yang diperdagangkan karena masih melimpahnya tanah-tanah yang belum dimiliki. Masyarakat pada masa kerajaan menjalani kehidupannya berdasarkan ketentuan raja. Sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah wilayah, raja berdaulat penuh atas semua hal yang ada dalam wilayah yuridiksinya. Begitupun dalam pengurusan tanah, raja telah menentukan batas dan bagian masing-masing bagi rakyatnya. Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal-awal kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat- pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana (Paigeaud 1960, Moertono 1968)23
Sebelum adanya peraturan pertanahan yang di buat oleh Belanda di Indonesia, Indonesia saat itu telah memiliki hukum pertanahan sendiri.
______________
23 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan bersama oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor), AKATIGA (Bandung), Edisi Baru, 2009, hlm. 66
Hukum pertanahan tersebut berasal dari hukum adat masing-masing daerah, karena pada saat itu belum ada persatuan antar suku dan bangsa. Hukum pertanahan adat itu sampai sekarang masih berlaku dan sering disebut hak ulayat adat.
Secara singkat pengertian dari tanah ulayat adalah tanah yang di miliki oleh suatu masyarakat adat yang tatacara kepemilikanya memiliki aturan yang khas tiap-tiap daerah. Luas tanah ulayat tidak mampu didefinisikan secara pasti namun kebiasaan masyarakat adat utuk menentukan luas tanah ulayat dengan cara seluas mata memandang adalah milik masyarakat adat tersebut. Tanah ulayat merupakan tanah milik adat (masyarakat adat) dengan pemisahan antara tanah dengan bangunan yang di atasnya (pemisahan horizontal). Tiap daerah memang memiliki perbedaan tatacara kepemilikan tanah ulayat namun jika di gambarkan secara umum, ketika salah satu individu pada masyarakat adat ingin membuka lahan baru maka dia harus melakukan mekanisme :
MABALI. Mabali adalah pemberian tanda batas tanah oleh individu anggota masyarat adat (seperti rotan di atas pohon).
Musyawarahkan (dengan ketua adat) Meminta ijin pada ketua adat untuk membuka lahan yang telah ditandai.
Membuka Tanah, Membuka tanah dengan komunal (bergotongroyong / bersama-sama)
Mengusahakan (Menanami lahan, membangun rumah, berburu, dll)
Timbul Hak Milik
Timbulnya hak milik tidak berarti mutlak kepemilikan individu anggota masyarakat adat.
Para pedagang berdatangan ke Indonesia sekitar abad 17 dengan alasan untuk berdagang dan mengembangkan perusahaan dagangnya. Sejarah hukum agraria kolonial pun diawali oleh perkumpulan dagang yang disebut Veerenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC) antara tahun 1602-179924, mereka diberikan hak untuk berdagang sendiri di Indonesia dari Pemerintah negeri Belanda (Staten General), yang sejak tahun 1602 itu VOC mendapat hak untuk mendirikan benteng-benteng serta membuat perjanjian dengan raja-raja Indonesia25. VOC mulai menaklukan raja-raja dari kerajaan-kerajaan kecil dengan cara mengharuskan menandatangani perjanjian (tractaat) bahwa mereka (raja dan rakyatnya) harus tunduk dan patuh kepada VOC dengan sistem perdagangan Verpelichte Leverantie dan Contingenten,

___________________
24 Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, Hukum Agraria dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 9
25 Supomo dan Djoksutono, Sedjarah Politik Hukum Adat 1609-1848, Jakarta: Djambatan, Cetakan ke-4, 1955, hlm. 1
yaitu menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah dipatok atau ditentukan dan hasil bumi yang diserahkan dipandang sebagai pajak tanah.38Kemudian hukum perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek) mulai diberlakukan untuk seluruh wilayah kekuasaan VOC, penekanan praktek penegakkannya adalah pada perolehan tanah untuk hubungan keagrariaan bagi pengumpulan hasil bumi untuk dijual di pasaran Eropa.26 Dengan hukum barat itu, maka hak-hak tanah yang dipegang oleh rakyat dan raja-raja Indonesia tidak dipedulikan. Namun rakyat Indonesia masih dibiarkan untuk hidup menurut hukum adat dan kebiasaannya.27 Seluruh lahan di daerah kerajaan yang  berada di bawah kekuasaan VOC itu diklaim menjadi milik VOC sehingga bebas digunakannya, termasuk untuk dijual kepada pihak selain masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk kegiatan penjualan tanah itu dilakukan melalui Lembaga Tanah Partikelir sejak tahun 1621, dengan dominasi pembeli dari pedagang kaya orang Arab dan Cina, namun tidak ada surat bukti jual beli karena pada masa itu belum ada pejabat notaris. Maka tanah partikelir itu dicatat dalam catatan “eigendom‟ milik Belanda.28 Situasi tersebut berjalan cukup lama, sehingga membuat rakyat Indonesia kehilangan hak-haknya sendiri atas tanah dan semakin miskin karena eksploitasi yang dilakukan VOC tehadap hasil pertanian rakyat. Kemudian pada tahun 1799, VOC terpaksa dibubarkan karena kerap kali berperang, kas kosong dan banyak hutang, serta banyak pesaing dari Inggris dan Perancis. Setahun kemudian, daerah dan hutang-hutang VOC diserahkan kepada Bataafsche Republiek, serta Indonesia sebagai tanah jajahan dijadikan bagian dari wilayah Negeri Belanda dengan status sebagai negara jajahan (Nederlands Indie – Hindia Belanda).29        
Kebijakan itu digunakan untuk membina tata hukum kolonial dalam mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan.30  Dalam Hukum Pertanahan Belanda di Indonesia, pelaksanaannya dimulai secara sah sejak tahun 1848 ketika diberlakukannya Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Nederlands Burgelijk Wetboek-BW) yang baru dan di Indonesia disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPInd.).31
_____________________
26 Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 10
27 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, Yogyakarta: STPN Press, 2012, hlm. 37
28 Roestandi Adiwilaga, 1962 sebagaimana dikutip pada Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 10
29 Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 69
30 Soetandyo Wignjosoebroto, monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum ? Regulasi, Negosiasi dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, Jakarta: Epistema Institute, 2011,hlm. 29
31 Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 37
Kodifikasi hukum berlangsung untuk pertama kali, BW berlaku khusus untuk golongan Eropa, kemudian berlaku juga untuk golongan Timur Asing (sejak tahun 1855), sedangkan untuk golongan Bumiputera berlaku hukum masing-masing (yakni hukum adat).32  Mengenai pengaturan hukum adat terkait urusan keagrariaan, Ter Haar dan para muridnya yang belajar di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama Rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah sosial (adat) komunitas-komunitas dengan sanksi sanksi.33 Van Vollenhoven telah menjelaskan sifat atau ciri khusus sebagai tandatanda pengenal Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Adat Indonesia, yaitu:
1. Masyarakat hukum dengan pimpinan dan warganya dapat dengan bebas menggunakan dan mengusahakan semua tanah hutan belukar yang belum dikuasai seseorang dalam lingkungan masyarakat hukum untuk membukanya, mendirikan perkampungan atau desa, berburu, mengumpulkan hasil hutan, menggembala dan merumput;
2. Orang asing hanya dapat melakukan hal-hal yang disebutkan sebelumnya setelah mendapatkan izin dari masyarakat hukum, karena setiap pelanggarannya dinyatakan sebagai suatu pelanggaran adat yang disebut “maling utan‟;
3. Setiap orang asing, tetapi kadang-kadang terhadap warga masyarakat hukum pun, diharuskan membayarkan uang pemasukan, untuk dapat memungut dan menikmati hasil tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat;
4. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas setiap pelanggaran hukum yang terjadi dalam wilayah masyarakat hukum adat;
5. Masyarakat hukum adat tetap berhak menguasai dan mengawasi tanahtanah pertanian dalam lingkungan masyarakat hukumnya; dan
6. Tanah masyarakat hukum adat tidak boleh dijual lepaskan kepada pihak lain untuk selama-lamanya.
________________
32 Elza Syarief, Op.Cit., hlm. 101
33 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum ..... ,Op.Cit., hlm. 24-25

 Berkat perjuangan Van Vollenhoven dan Ter Haar serta para penerusnya, pada zaman Hindia Belanda itu hukum negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial pemerintah kolonial) menjadi tidak – atau tidak banyak – menyimpang dari hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.34 Dalam praktiknya, pelanggaran demi pelanggaran hukum dilakukan oleh pemerintah Belanda. Pemerintah acapkali mencabut hak milik tanah seseorang tanpa didasarkan ketentuan hukum karena penduduk pribumi tidak ditentukan sebagai pihak yang berhak atas hak milik dan ganti rugi atas tanah.35 Kemudian dengan semakin berkembangnya dominan ide liberalisme di bidang hukum, lahirlah Regeelings Reglement (RR) pada tahun 1854 yang dimaksudkan untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan eksekutif yang berada di tangan para administrator kolonial.36
Menurut ayat (3) dari Pasal 62 RR menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut peraturan yang harus ditetapkan dengan peraturan umum. Dalam hal ini tidak termasuk tanah-tanah yang dibuka oleh orang-orang Bumiputera, atau yang termasuk lingkungan suatu desa, baik sebagai tempat penggembalaan umum, maupun dengan sifat lain. Tujuan gerakan kaum liberal dalam bidang agraria ini adalah agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan, serta agar dengan asas domein pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah (erfpacht).37



____________________________
34 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum ..... ,Op.Cit., hlm. 25
35 Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground), Yogyakarta: STPN Press, 2013, hlm. 16
36 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum .....Op.Cit., hlm. 32
37 Gunawan Wiradi, Reforma ….Op.Cit., hlm. 71-72
BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Sebagai penutup dalam tulisan ini, penulis memberikan beberapa kesimpulan bahwa:
Beberapa sumber hukum tanah Indonesia yaitu hukum tanah adat, kebiasaan, tanah-tanah swapraja, tanah partikelir, tanah negara, tanah garapan, hukum tanah Belanda, hukum tanah Jepang, tanah-tanah milik perusahaan asing Belanda, tanah-tanah milik perseorangan warga Belanda, surat izin perumahan, tanah bondo deso, tanah bengkok, tanah wedi kengser, tanah kelenggehan, tanah pekulen, tanah res extra commercium, tanah absentee, tanah oncoran, dan bukan tanah oncoran.
Sejarah hukum agraria (UUPA) di indonesia dapat di bagi atas 7 masa, yaitu :
1.      Masa setelah ditetapkannya UUPA tahun 1960
2.      Masa setelah proklamasi kemerdekaan sampai sebelum ditetapkannya UUPA tahun 1960
3.      Masa AGRARISCHE WET 1870 – 1945
4.      Masa Perubahan UUD BELANDA 1848 (1848-1870)
5.      Masa / Jaman “CULTUURSTELSEL” (1830-1848)
6.      Masa Pemerintahan INGGRIS (1811-1816)
7.      Masa PRA-KOLONIAL
Karena terus berubahnya hokum agrarian dari masa kemasa, maka penulis menyimpulkan bahwa sesuai dengan teori Friederich Carl Von Savigny bahwa “Setiap masa terjalin dengan masa sebelumnya, Hukum adalah gejala masyarakat, hukum berkembang sesuai perkembangan masyarakat, maka sesuai dengan filosopi Von Savigni bahwa Hukum tidak dibuat tetapi ditemukan” Demikian Paper yang dapat saya sajikan, mudah-mudahan bisa bermanfaat, khususnya bagi saya penulis, umumnya bagi para pembaca sekalian. saya menyadari dalam penulisan ini masih banyak kesalahan dan kekurangannya, kritik yang sifatnya membangun sangat saya harapkan untuk kemajuan kearah yang lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

1.      BUKU
Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional., Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012.
Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground), Yogyakarta: STPN Press, 2013
Dudu Duswara Machmudin. Pengantar Ilmu Hukum – Sebuah Sketsa. Bandung: Refika Aditama, 2010.
Effendi Perangin..401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta: Rajawali, 1986
Effendi Perangin. 1991.Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Rajawali.
Elza Syarief, Menuntaskan sengketa tanah, Gramedia, Jakarta, 2012
Elza Syarief, Persertifikatan tanah bekas hak eigendon, Gramedia, Jakarta 2014
Gunawan wiradi, Reforma agrarian untuk pemula, secretariat bina desa, Jakarta, 2005
Hanitijo, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003.
Herman Soesangobeng, Filosopi azas teori hokum pertanahan dan agrarian, STPN Press, 2012
Hermit, Herman, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik,Tanah Negara dan Tanah Pemda, teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung, 2004.
Muchsin dkk, Hukum agrarian diindonesia dalam prespektif sejarah, Reflika aditama, bandung,
Parlindungan, A.P, Komentar UUPA, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Roestandi Adiwilaga, Hukum agrarian diindonesia dalam teori dan praktek, STPN Press, 2012
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari konsep colonial ke hokum nasional, Rajagrafindo persada, Jakarta, 1994
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007
Sudharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah.Jakarta: Sinar Grafika, 1994
Supriadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, PT. Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2010.
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika. Jakarta, 2010
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2009
Wignjodipuro, Surojo, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1982.


B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

C. Media Maya
Tidak Ada Nama,2010.Pengertian Agraria.http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/    hukum - agraria/.Di Unduh tgl 20 mei 2011
Yusril,2010.Hukum Agraria Masa Kini.http://Paperdanskripsi.blogspot.com/2008/08/    hukum-agraria-penyelesaian-sengketa.html.Di unduh tgl 20 Mei 2011
Sukardi,2011.Sejarah Hukum Agraria.http://ilmuanu.blogspot.com/2011 /04/sejarah          hukum-agraria.html.Di unduh tgal 20 mei 2011
Tidak Ada Nama,2011.Hukum agraria Indonesia.http://www.kekal-indonesia.       org/index.php?option=com_content&task=view&id=29&Itemid=72.  Di unduh tgl 20 mei 2011
Wandi,2011.Hukum Agraria sesudah dan sebelum Merdeka.http://chekp4yz.          wordpress.com/2010/07/28/bab-ii-agraria/.Di unduh 20 Mei 2011.
Darno,2010.Kebijakan Hukum agraria Indonesia.http://kuliah-notariat.blogspot.    com/2009/03/kebijakan-hukum-agraria-di-indonesia.html.Di unduh 20 mei 2011
Sunardi,2011.Sejarah Agraria Indonesia.http://roysanjaya.blogspot.com/    2009/03/sejarah-hukum-agraria-di-indonesia.html.Di unduh 20 Mei 2011
Tidak Ada Nama.Definisi Hukum Agraria.http://okusi.net/garydean/works/            HukumAgraria.html.Di unduh 20 mei 2011
Darnoto,2010.Sejarah Agraria Di indonesia.http://www1.patikab.go.id/artikel/hukum       agraria-sejarah-hukum-agraria-.Di unduh 20 mei 2011
Alhakim,2011.Sejarah Hukum agraria Di indonesia.http://   alhakim050181.wordpress.com/.Di unduh 20 mei 20111.x`x`