PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA
Wayan R. Susila
Peluang investasi untuk perluasan areal kelapa sawit diperkirakan berkisar antara 74000-117000 ha per tahun, dengan kebutuhan dana investasi berkisar antara 1.1-1.7 triliun per tahun. Dari sisi peremajaan, peluang invetasi adalah berkisar antara 20000-50000 ha per tahun dengan kebutuhanan investasi berkisar antara Rp 300 – Rp 750 miliar per tahun.
Pendahuluan
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang pertum-buhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11.% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan 2002). Laju yang demikian pesat menandai era di mana kelapa sawit merupakan salah primadona pada sub-sektor perkebunan.
Pada lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multi-dimensional dan tingkat persaingan pasar minyak nabati yang dihadapi CPO semakin ketat, laju pertumbuhan industri CPO mulai melambat. Sebagai ilustrasi, laju perluasan areal pada periode 1991-2001 hanya sekitar 9.62% per tahun. Makin melambatnya pertumbuhan tersebut juga diiringi oleh isu bahwa pasar kelapa sawit sudah mulai jenuh sehingga banyak investor yang mulai ragu-ragu untuk melakukan investasi pada bisnis kelapa sawit.
Benarkah investasi pada bisnis kelapa sawit sudah jenuh? Makalah ini akan mencoba melihat peluang investasi bisnis perkebunan pada masa mendatang. Peluang tersebut dilihat dari dua sisi yaitu sisi peremajaan atau rehabilitasi (regenerasi) dan sisi perluasan. Sisi peremajaan perlu mendapat perhatian karena kebun-kebun kelapa sawit yang dibangun pada tahun 1970-an secara teknis sudah layak untuk diremajakan. Pada sisi lain, beberapa hasil studi seperti oleh FAO (2001) menunjukkan bahwa bisnis kelapa sawit masih berpeluang untuk melakukan perluasan.
Sejalan dengan hal itu, organisasi tulisan ini disusun sebagai berikut. Setelah Pendahuluan, sekilas akan diuraikan perkembangan industri CPO Indonesia. Selanjutnya bahasan difokuskan pada peluang CPO di pasar internasional. Berdasarkan peluang tersebut, peluang investasi kelapa sawit didiskusikan pada bagian akhir tulisan ini.
Prospek CPO Di Pasar Internasional
Hasil analisis yang dilakukan FAO (2001), Mielke (2001), dan Susila (2002) menunjukkan bahwa propek pasar CPO di pasar internasional relatif masih cerah. Hal ini antara lain tercermin dari sisi konsumsi yang diperkirakan masih terbuka dengan laju pertumbuhan konsumsi CPO dunia diproyeksikan mencapai sekitar 3.5%-4.5% per tahun sampai dengan tahun 2005 (Gambar 1). Dengan demikian, konsumsi CPO dunia pada tahun 2005 diproyeksikan mencapai 27.67 juta ton. Untuk jangka panjang, laju peningkatan konsumsi diperkirakan sekitar 3% per tahun.
Peningkatan yang signifikan terutama akan terjadi pada nega¬ra yang sedang berkembang seperti di Cina, Pakistan, dan juga Indonesia. Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan konsumsi dengan laju sekitar 4%-6% per tahun. Konsumsi CPO di Cina dan Pakistan diproyeksikan juga akan tumbuh dengan laju sekitar 4-6% per tahun (Susila 2001).
Sejalan dengan peluang peningkatan konsumsi yang masih terbuka, FAO (2001) menyebutkan bahwa peluang peningkatan produksi sampai dengan 2005 mendatang masih terbuka dengan laju sekitar 4-5% per tahun (Gambar 2). Produksi CPO dunia pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 27.68 juta ton.
Produksi CPO dunia pada dekade mendatang masih akan didominasi oleh Malaysia dan Indonesia. Malaysia sebagai produsen utama akan mengalami peningkatan produksi dengan laju 2.8% per tahun. Indonesia diperkirakan masih akan mempunyai peluang untuk peningkatan produksi dengan laju antara 7.6% per tahun, sehingga produksi CPO Indonesia pada tahun 2005 mencapai 10 juta ton (Susila, 2002)
Perdagangan (ekspor-impor) CPO dunia diproyeksikan akan meningkat dengan laju sekitar 3.8% per tahun untuk periode 2000-2005 (Gambar 3). Dengan perkembangan yang demikian, maka volume perdagangan pada tahun 2005 diproyeksikan sekitar 19.16 juta ton (FAO 2001).
Malaysia dan Indonesia tetap merupakan negara pengekspor utama dengan peluang peningkatan ekspor masing-masing sekitar 3.2% dan 6.5% per tahun. Dari sudut alokasi pangsa pasar, Indonesia diperkirakan masih menguasai pasar untuk negara-negara di beberapa Eropa Barat seperti Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman. Malaysia lebih banyak menguasai pasar China (1.8 juta ton), India (1.7 juta ton), EU (1.5 juta ton), Pakistan (1.1 juta ton), Mesir (0.5 juta ton), dan Jepang (0.4 juta ton)
Seperti kebanyakan harga produk primer pertanian, harga CPO relatif sulit untuk diprediksi dengan akurasi yang tinggi. Harga cenderung fluktuatif dengan dinamika yang perubahan yang relatif sangat cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka proyeksi harga yang dilakukan lebih pada menduga kisaran harga untuk periode 2000-2005. Jika tidak ada shock dalam perdagangan dan produksi, maka harga CPO di pasar internasional pada periode tersebut diperkirakan lebih tinggi bila dibandingkan dengan situasi harga tahun 2001 yang dengan rata-rata sekitar US$ 265/ton. Di samping itu, mulai menurunnya stok pada periode menjelang 2005 juga mendukung perkiraan tersebut. Dengan argumen tersebut, harga CPO sampai dengan 2005 diperkirakan akan berfluktuasi sekitar US$ 350-450/ton (Susila dan Supriono 2001).
Peluang Pasar Indonesia
Secara umum, ada dua sumber permintaan (peluang pasar) untuk CPO Indonesia yaitu konsumsi domestik dan ekspor. Setelah sebelumnya meningkat dengan laju sekitar 8% per tahun, peluang konsumsi CPO di dalam negeri diperkirakan akan meningkat dengan laju antara 6% pada tahap awal dan menurun menjadi sekitar 4% pada akhir dekade mendatang. (Gambar 4). Untuk periode 2000-2005, konsumsi domestik diperkirakan meningkat dengan laju 5%-6% per tahun. Selanjutnya, untuk periode 2005-2010, laju peningkatan konsumsi diperkirakan adalah 3%-5% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka konsumsi domestik pada tahun 2005 dan 2010 masing-masing adalah 3.92 juta ton dan 4.58 juta ton.
Selain mengandalkan pasar domestik, pasar ekspor merupakan pasar utama CPO Indonesia. Ekspor CPO Indonesia pada dekade terakhir meningkat dengan laju antara 7-8% per tahun. Di samping dipengaruhi oleh harga di pasar internasional dan tingkat produksi, kinerja ekspor CPO Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, khususnya tingkat pajak ekspor.
Dengan asumsi tingkat pajak ekspor adalah masih di bawah 5%, maka ekspor CPO Indonesia diperkirakan akan tumbuh dengan laju 4-8% per tahun pada periode 2000-2010 (Gambar 5). Pada periode 2000-2005, ekspor akan tumbuh dengan laju 5%-8% per tahun sehingga volume ekspor pada periode tersebut sekitar 5.4 juta ton. Pada periode 2005-2010, volume ekspor meningkat dengan laju 4%-5% per tahun yang membuat volume ekspor menjadi 6.79 juta ton pada tahun 2010.
Peluang Investasi dari Perluasan Areal
Berdasarkan peluang pasar tersebut, maka peluang investasi dari sisi perluasan areal diperkirakan masih cukup terbuka. Secara teoritis, ada banyak skenario yang dapat dilakukan untuk memenuhi peluang pasar tersebut. Salah satu skenario peluang perluasan areal adalah pada periode 2003-2005 perluasan areal adalah antara 3.5% per tahun, sedangkan pada periode 2006-2010 adalah sekitar 2% per tahun.
Dengan asumsi tersebut, peluang investasi dari sisi perluasan areal diperkirakan sekitar 117000 ha per tahun pada periode 2003-2005 dan 70000 ha per tahun untuk periode 2006-2010. Untuk mewujudkan hal tersebut, dana investasi yang dibutuhkan adalah sekitar 1.7 triliun per tahun pada periode pertama dan sekitar 1.1 triliun per tahun pada periode kedua. Kebutuhan benih untuk mendukung hal tersebut berkisar antara 14.8 – 23.5 juta per tahun.
Tabel 1. Peluang Investasi Bisnis Kelapa Sawit 2003-2010
Aspek
2003-2005 2006 - 2010
Pertumbuhan Areal (% /tahun) 3.5 2.0
Perluasan areal (000 ha/th) 117 74
Jumlah Bibit (juta benih/th) 23.5 14.8
Nilai Investasi (Rp T/th) 1.7 1.1
Asumsi : 1 ha = 200 benih ;Investasi Rp 15 juta/ha
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Taher (2000), areal yang tersedia untuk perluasan areal mencapai 2.960 juta ha (Tabel 2) yang tersebar di 6 propinsi. Dengan demikian, lahan yang tersedia cukup memadai untuk me-manfaatkan peluang pasar. Namun demikian, potensi yang luas tersebut me-merlukan suatu pendekatan yang tepat untuk meminimisasi konflik lahan yang kini menjadi salah satu potret industri kelapa sawit Indonesia.
Tabel 2. Ketersediaan Lahan Untuk Perluasan Kelapa Sawit
Propinsi Luas (000 ha)
Jambi 50
Kalimantan Tengah 310
Kalimantan Timur 370
Sulawesi Selatan 130
Sulawesi Tengah 200
Papua Barat 2000
Total 2960
Sumber : Taher et al., (2000)
Peluang Investasi dari Peremajaan
Karena perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1970-an, maka pada mulai awal dekade ini akan banyak tanaman yang potensial sudah perlu diremajakan. Dalam hal ini, tanaman yang potensial untuk diremajakan adalah tanaman yang sudah umurnya lebih dari 25 tahun. Dengan pendekatan ini, maka potensi peremajaan pada tahun 2003-2010 adalah seperti disajikan pada Gambar 6.
Secara umum, potensi peremajaan adalah berkisar antara 20000-50000 ha per tahun. Pada tahun 2003-2004, potensi areal untuk peremajaan adalah sekitar 20 ribu ha per tahun. Pada tahun 2005, potensi areal peremajaan meningkat menjadi sekitar 30 ribu ha. Potensi areal peremajaan meningkat cukup pesat pada tahun 2009 dan 2010 yang masing-masing mencapai sekitar 50 ribu dan 37 ribu ha. Dengan demikian, kebutuhanan dana investasi berkisar antara Rp 300 – Rp 750 miliar per tahun, sedangkan benih yang dibutuhkan berkisar antara 4 - 10 juta benih per tahun.
Potensi areal yang potensial untuk diremajakan terutama berada di lima propinsi utama (Tabel 3). Potensi areal terluas untuk peremajaan berada di Sumatera Utara yang mempunyai pangsa sekitar 33.2% dari areal yang potensial untuk diremajakan. Pada propinsi tersebut, areal peremajaan berkisar antara 6644 ha sampai dengan 16609 ha per tahun. Propinsi Riau merupakan daerah potensial terbesar kedua dengan pangsa sekitar 25.7% atau dengan potensi antara 5144 ha – 12860 ha per tahun. Sumatera Selatan, kalimantan Barat, dan Aceh merupakan daerah yang juga cukup potensial dengan pangsa diatas 7% dari potensi peremajaan secara nasional.
Tabel 3. Potensi Peremajaan Kelapa Sawit di Beberapa Propinsi
Propinsi
Areal Peremajaan Pangsa(%) (ha)
Sumatera Utara 33.2 6644 – 16609
Riau 25.7 5144 – 12860
Sumatera Selatan 12.6 2520 – 6300
Kalimantan Barat 10.4 2080 – 5200
Aceh 8.0 1600 – 4000
Lainnya 10.1 2013 – 5031
Jika kedua peluang investasi digabungkan, maka setiap tahunnya diperlukan pembangunan kebun (perluasan dan peremajaan) rata-rata sekitar 117 000 ha per tahun. Untuk itu, dana investasi yang diperlukan rata-rata sekitar 1.7 triliun per tahun. Dari segi benih, kebutuhan benih diperkirakan sekitar 23 juta benih per tahun, Dengan perhitungan tersebut, maka luas areal kelapa sawit pada tahun 2005 dan 2010 masing-masing adalah 3.744 juta ha dan 4.424 juta ha.
Jika hal tersebut dapat diwujudkan, potensi produksi berdasarkan kom-posisi tanaman berdasarkan umur (vintage tanaman) adalah seperti Gambar 7. Pada periode 2000-2005, laju peningkatan produksi diperkirakan sekitar 7.6% per tahun, sehingga produksi CPO pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 10.20 juta ton. Laju pertumbuhan produksi menurun pada periode 2005-2010 dengan laju sekitar 2.7% per tahun yang menyebabkan produksi CPO Indonesia men-capai 11.64 juta ton. Secara umum, peningkatan produksi untuk periode 2000-2010 adalah 5.1% per tahun. Pada tahun 2010, pangsa produksi perkebunan rakyat¸ PTPN, dan perkebunan besar swasta masing-masing menjadi 25.9%, 20.0%, dan 53.1%.
Penutup
Setalah mengalami masa keemasan sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, bisnis kelapa sawit mengalami penurunan kinerja, khususnya dari aspek investasi. Berbagai faktor internal dan eksternal telah menimbulkan persepsi bahwa peluang investasi di bisnis tersebut mulai menurun. Namun demikian, peluang investasi sebenarnya masih cukup terbuka dengan deskripsi sebagai berikut
? Pasar CPO di pasar internasional masih prospektif walau peluang peningkatan lebih kecil dari pada periode sebelumnya. Peluang pasar dari sisi konsumsi diperkirakan masih tumbuh sekitar 3.5%-4.5% per tahun, sedangkan dari segi perdagangan sekitar 3.8% per tahun.
? Sampai dengan tahun 2010, peluang pasar untuk CPO Indonesia dari sisi konsumsi domestik diperkirakan tumbuh antara 4%-6% per tahun, sedangkan dari sisi ekspor adalah sekitar 5%-8% per tahun.
? Dengan peluang pasar tersebut, peluang investasi dari sisi perluasan areal diperkirakan berkisar antara 74000-117000 ha per tahun, dengan kebu-tuhan dana investasi berkisar antara 1.1-1.7 triliun per tahun. Kebutuhan benih untuk mendukung hal tersebut berkisar antara 14.8 – 23.5 juta benih per tahun.
? Dari sisi peremajaan, peluang invetasi adalah berkisar antara 20000-50000 ha per tahun dengan kebutuhan investasi berkisar antara Rp 300 – Rp 75 miliar per tahun. Benih yang dibutuhkan berkisar antara 4 - 10 juta benih per tahun.
Senin, 22 Maret 2010
Bisnis perkebunan kelapa sawit di indonesia
Bisnis perkebunan kelapa sawit masih pada relnya atau masih menjanjikan sungguhpun pada tahun 2008, Kinerja subsektor perkebunan masih mengalami perlambatan yang cukup tajam. Subsektor perkebunan mengalami kontraksi sebesar -0,08%. Hal ini tercermin dari menurunnya ekspor komoditas perkebunan baik CPO maupun karet. Penurunan permintaan dan harga komoditas membuat produksi subsektor ini melorot tajam. Pada tingkat perusahaan, nilai penjualan dan volume produksi CPO PT Bakrie Sumatera Plantation yang sebagian produksinya dihasilkan dari Kabupaten Pasaman Barat menunjukkan penurunan sejak awal triwulan III-2008.
Semakin tajamnya kontraksi subsektor perkebunan ini lebih disebabkan tingginya pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu. Perusahaan perkebunan melakukan berbagai efisiensi untuk mengatasi penurunan produksi seperti melakukan pengurangan pemupukan untuk kebun-kebun yang sudah mature, mengurangi impor pupuk yang merupakan komponen biaya tertinggi, serta menunda pelaksanaan investasi untuk sementara
Ekonomi Global
Kondisi perbaikan ekonomi Amerika Serikat juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam perbaikan perekonomian global. Bila strategi dari pemerintahan obama berjalan dengan baik dalam memulihkan perekonomian AS, bukan tidak mungkin meningkatkan permintaan energi global dan akan kembali meningkatkan harga komoditas, khususnya CPO
Penurunan BI Rate
Perbankan umum masih menerapkan suku bunga kredit yang tinggi meskipun BI-rate berada pada arah yang terus menurun. Perbankan menikmati margin keuntungan cukup tinggi dari besarnya spread antara suku bunga kredit dengan suku bunga tabungan dan deposito. Pada posisi triwulan II-2009 dibandingkan posisi akhir tahun 2008, BI-rate telah terpangkas sebesar 225 bps menjadi berada pada posisi 7,00%. Namun demikian, suku bunga kredit masih kurang responsif terhadap penurunan BI-rate dengan bergerak pada kisaran 13-17%.
Di sisi lain, suku bunga tabungan dan deposito lebih fleksibel dan responsif menyesuaikan penurunan BI-rate. Suku bunga tabungan pada triwulan II-2009 sudah berada pada kisaran 3,00-3,50%, sedangkan suku bunga deposito 1 bulan berada pada kisaran 8,50-9,00%. Dengan demikian, meskipun suku bunga acuan BI-rate berpotensi menurun seiring dengan tekanan inflasi yang semakin rendah, secara umum kondisi ini masih dapat dihadapi oleh perbankan umum. Potensi risiko yang dihadapi hanya relatif berkurangnya margin keuntungan yang diperoleh bank-bank umum.
Investasi Kebun Kelapa Sawit
Memasuki pertengahan tahun 2009, beberapa perusahaan kembali optimis terhadap perkembangan krisis perekonomian global yang diperkirakan telah mencapai dasar dan mulai menunjukkan pembalikan (recovery). Beberapa perusahaan perkebunan di Sumatera, termasuk PT Bakrie Sumatera Plantation di Sumbar, mulai merencanakan belanja investasi yang mayoritas bersumber dari kas internal. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi keuangan perusahaan perkebunan masih cukup baik meski harga komoditas sempat jatuh.
Harga CPO
Harga CPO internasional yang membaik memicu kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Membaiknya harga ini dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah yang saat ini menyentuh harga USD 72,45 per barel. Ditambah lagi pasokan kacang kedelai sebagai substitusi CPO dalam bahan baku biofuel diprediksi juga semakin berkurang (Bisnis Indonesia, 12 Juni 2009). Peningkatan harga CPO internasional juga memicu fluktuasi peningkatan harga minyak goreng dalam negeri. Membaiknya harga CPO ini mengakibatkan produsen kelapa sawit lebih memilih untuk mengekspor pasokan ke luar negeri. Produsen semakin gencar untuk melakukan ekspor dengan adanya kebijakan dari negara-negara importir seperti India yang menerapkan bea masuk rendah bagi CPO. Harga minyak goreng curah pada minggu ke-tiga bulan Juni 2009 menunjukkan harga pada kisaran Rp 8.800 -Rp. 9.000 per liter.
Di pasar internasional, harga CPO dan karet masih fluktuatif terkait dengan harga minyak internasional yang tidak stabil dan menunjukkan adanya gejala penurunan. Sejumlah perusahaan perkebunan memutuskan untuk melakukan efisiensi terkait dengan harga CPO yang melorot dibandingkan tahun lalu. Perusahaan perkebunan diperkirakan akan menahan ekspansi produksi, dan lebih terfokus pada pemeliharaan perkebunan yang sudah ada.
Semakin tajamnya kontraksi subsektor perkebunan ini lebih disebabkan tingginya pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu. Perusahaan perkebunan melakukan berbagai efisiensi untuk mengatasi penurunan produksi seperti melakukan pengurangan pemupukan untuk kebun-kebun yang sudah mature, mengurangi impor pupuk yang merupakan komponen biaya tertinggi, serta menunda pelaksanaan investasi untuk sementara
Ekonomi Global
Kondisi perbaikan ekonomi Amerika Serikat juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam perbaikan perekonomian global. Bila strategi dari pemerintahan obama berjalan dengan baik dalam memulihkan perekonomian AS, bukan tidak mungkin meningkatkan permintaan energi global dan akan kembali meningkatkan harga komoditas, khususnya CPO
Penurunan BI Rate
Perbankan umum masih menerapkan suku bunga kredit yang tinggi meskipun BI-rate berada pada arah yang terus menurun. Perbankan menikmati margin keuntungan cukup tinggi dari besarnya spread antara suku bunga kredit dengan suku bunga tabungan dan deposito. Pada posisi triwulan II-2009 dibandingkan posisi akhir tahun 2008, BI-rate telah terpangkas sebesar 225 bps menjadi berada pada posisi 7,00%. Namun demikian, suku bunga kredit masih kurang responsif terhadap penurunan BI-rate dengan bergerak pada kisaran 13-17%.
Di sisi lain, suku bunga tabungan dan deposito lebih fleksibel dan responsif menyesuaikan penurunan BI-rate. Suku bunga tabungan pada triwulan II-2009 sudah berada pada kisaran 3,00-3,50%, sedangkan suku bunga deposito 1 bulan berada pada kisaran 8,50-9,00%. Dengan demikian, meskipun suku bunga acuan BI-rate berpotensi menurun seiring dengan tekanan inflasi yang semakin rendah, secara umum kondisi ini masih dapat dihadapi oleh perbankan umum. Potensi risiko yang dihadapi hanya relatif berkurangnya margin keuntungan yang diperoleh bank-bank umum.
Investasi Kebun Kelapa Sawit
Memasuki pertengahan tahun 2009, beberapa perusahaan kembali optimis terhadap perkembangan krisis perekonomian global yang diperkirakan telah mencapai dasar dan mulai menunjukkan pembalikan (recovery). Beberapa perusahaan perkebunan di Sumatera, termasuk PT Bakrie Sumatera Plantation di Sumbar, mulai merencanakan belanja investasi yang mayoritas bersumber dari kas internal. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi keuangan perusahaan perkebunan masih cukup baik meski harga komoditas sempat jatuh.
Harga CPO
Harga CPO internasional yang membaik memicu kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Membaiknya harga ini dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah yang saat ini menyentuh harga USD 72,45 per barel. Ditambah lagi pasokan kacang kedelai sebagai substitusi CPO dalam bahan baku biofuel diprediksi juga semakin berkurang (Bisnis Indonesia, 12 Juni 2009). Peningkatan harga CPO internasional juga memicu fluktuasi peningkatan harga minyak goreng dalam negeri. Membaiknya harga CPO ini mengakibatkan produsen kelapa sawit lebih memilih untuk mengekspor pasokan ke luar negeri. Produsen semakin gencar untuk melakukan ekspor dengan adanya kebijakan dari negara-negara importir seperti India yang menerapkan bea masuk rendah bagi CPO. Harga minyak goreng curah pada minggu ke-tiga bulan Juni 2009 menunjukkan harga pada kisaran Rp 8.800 -Rp. 9.000 per liter.
Di pasar internasional, harga CPO dan karet masih fluktuatif terkait dengan harga minyak internasional yang tidak stabil dan menunjukkan adanya gejala penurunan. Sejumlah perusahaan perkebunan memutuskan untuk melakukan efisiensi terkait dengan harga CPO yang melorot dibandingkan tahun lalu. Perusahaan perkebunan diperkirakan akan menahan ekspansi produksi, dan lebih terfokus pada pemeliharaan perkebunan yang sudah ada.
Langganan:
Komentar (Atom)