Selasa, 11 Februari 2020

MEMAHAMI LEBIH DALAM MENGENAI BADAN USAHA



Nama                    : Binsar Nainggolan
NIM                      : 110011900037
Mata Kuliah         : Masalah Badan Hukum
Semester               : Genap
Tahun                    : 2020
Dosen                    : Dr. Drs. Hj. Siti Nurbaiti. S.H. ,M.H.

TUGAS KULIAH
1.          Jelaskan apa yang dimaksud dengan Lex Specialist derogate Lex Generalis?  Berikan contoh
Jawab:
Merupakan azas  pemafsiran yang menyatakan bahwa Hukum yang bersifat khusus (lex specialist) mengesampingkan hukum umum (lex generalis). Artinya dalam melihat suatu hal, jika mengenai hal tersebut terdapat pada dua aturan yaitu pada aturan umum dan aturan khusus. Maka yang digunakan adalah aturan khusus.
                Contoh
Dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati pemerintah daerah yang bersifat khusus (lex Specialis) sehingga ada keistimewaan daerah yang gubernur nya tidak dipilih secara demokratis, seperti :
DI Jogjakarta tetap dipertahankan (UU 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta)
DIwilayah DKI Jakarta dimana walikota dan bupati ditunjuk gubernur sesuai UU Administrasi DKI Jakarta. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (“UU 29/2007”)

2.          Jelaskan mengapa Persekutuan Perdata, Firma dan CV dikatakan sebagai badan usaha yang BUKAN badan hukum! Sertakan juga dasar hukumnya.
Jawab :
PP, FIRMA dan CV adalah badan usaha yang BUKAN Badan Hukum. Hal ini karena badan usaha ini tidak ada pemisahan harga kekayaan antara persekutuan dengan pribadi sekutu-sekutunya yang  disahkan oleh kemenkumham sehingga :
1.       Subjek hukumnya adalah orang-orang yang menjadi pengurusnya, jadi bukan badan hukum itu sendiri karena ia bukanlah hukum sehingga tidak dapat menjadi subjek hukum.
2.       Pada perusahaan ini, yang bertindak sebagai subjek hukum adalah orang-orangnya dan bukan perkumpulannya sehingga yang dituntut adalah orang-orangnya oleh pihak ketiga.
3.       Harta kekayaan dalam perusahaan ini adalah dicampur, artinya bila terjadi kerugian/penuntutan yang berujung pembayaran ganti rugi/pelunasan utang maka harta kekayaan pribadi dapat menjadi jaminannya, dengan kata lain, pertanggung jawabannya pribadi untuk keseluruhan.
4.       Harta perusahan bersatu dengan harta pribadi para pengurus/anggotanya. Akibatnya kalau perusahaannya pailit, maka harta pengurus/anggotanya ikut tersita juga
Dasar Hukum
1.       Persekutuan Perdata (PP)
Definisi PP                                 : Pasal 1618 KUHPer
Unsur-unsur dalam PP         : Pasal 1619 & 1624 KUHPer
Syarat Pendirian PP               : Pasal 1320 KUHPer
Jenis-jenis PP                          : Pasal 1620-1623 KUHPer
Pengurusan PP                       : Pasal 1636-1641 KUHPer
Pembagian keuntungan      : Pasal 1633 KUHPer
Hal-hal yang dilarang            : Pasal 1634-1635 KUHPer
Pertanggungjawaban           : Pasal 1636-1645 KUHPer
Bubarnya PP                            : Pasal 1646-1647 KUHPer
2 FIRMA
Definisi dan Pendirian          : Pasal 16-35 KUHD
Sekutu Firma                           : Pasal 17 KUHD
Proses Pembubaran             : Pasal 1646-1652 KUHPer & Pasal 31-35 KUHD
Keuntungan Firma                 : Pasal 1633-1635 KUHPer
3 CV
Definisi dan Pendirian          : Pasal 19-22 KUHD & Pasal 32 KUHD
Unsur CV Sebagai Firma      : Pasal 16&18 KUHD
Tanggungjawab sekutu       : Pasal 18 KUHD, Pasal 20:2 KUHD & Pasal 21 KUHD
Pembagian keuntungan      : Pasal 1633-1635 KUHPer


3.          A, B, C ingin mendirikan Kantor Hukum. Mereka masih bingung menentukan badan usaha dan nama yang cocok untuk mereka dirikan. Bantulah mereka untuk memilih Badan usaha yang cocok, sertakan juga dasar hukum dan akibat hukumnya.
Jawaban:
Badan Usaha yang cocok untuk kantor Hukum adalah PP (Persekutuan Perdata) landasan hukum Pasal 1 angka 4 Kepmenhukham No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004
Dasar hukum yang mengatur badan usaha PP ini dijelaskan pada Pasal 1618-1652 KUHPer
Akibat Hukum: Pasal 1636-1645 KUHPer
Mengenai akibat hukum, dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu tanggung jawab intern para sekutu, dan tanggung jawab ekstern terhadap pihak ketiga. Untuk yang pertama (intern), maka para sekutu dapat menunjuk salah seorang diantara mereka atau pihak ketiga untuk menjadi Pengurus persekutuan perdata guna melakukan semua tindakan kepengurusan atas nama persekutuan perdata (Pasal 1637 KUHPer). Bila tidak dijanjikan demikian, maka setiap sekutu dianggap secara timbal balik telah memberikan kuasa, supaya yang satu melakukan pengurusan terhadap yang lain, bertindak atas nama Persekutuan perdata dan atas nama mereka (Pasal 1639 KUHPer). Untuk yang kedua (ekstern), dalam Pasal 1642 KUHPer dinyatakan bahwa “para sekutu tidaklah terikat masing-masing untuk seluruh utang maatschap dan masing-masing mitra tidak bisa mengikat mitra lainnya apabila mereka tidak telah memberikan kuasa kepadanya untuk itu”.
Persekutuan Perdata mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian apabila perikatan yang sudah dijanjikan tidak dilaksanakan, sehingga jika perikatan itu benar-benar tidak dilaksanakan maka sekutu yang bertanggung jawab dapat diganggu gugat untuk memenuhi prestasinya (Pasal 1642-1645 KUHPerdata) :
“Bila seorang sekutu mengadakan hubungan hukum dengan piak ketiga, maka sekutu yang bersangkutan sajalah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga itu, walaupun ia mengatakan bahwa dia berbuat untuk kepentingan persekutuan”.
Perbuatan tersebut baru mengikat sekutu-sekutu yang lain apabila :
nyata-nyata ada surat kuasa dari sekutu yang lain; dan hasil perbuatan / keuntungannya itu telah nyata -nyata dinikmati oleh persekutuan. Apabila beberapa orang sekutu persekutuan perdata hubungan dengan pihak ketiga , maka para sekutu tidak dapat dipertangung jawabkan sama rata, meskipun pemasukkan mereka masing-masing tidak sama, kecuali apabila dalam perjanjian yang dibuatnya dengan pihak ketiga itu dengan tegas ditetapkan imbangan pertanggung jawaban masing-masing sekutu menurut perjanjian itu. Apabila seorang sekutu persekutuan perdata mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga atas nama persekutuan, maka persekutuan dapat langsung menggugat pihak ketiga itu. Bentuk pertanggungjawabannya pribadi untuk keseluruhan adalah :
Pasal 1131 KUHPerdata : segala bentuk kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tetap baik yang sudah ada maupun yang akan ada merupakan jaminan bagi seluruh perikatan; dan
Pasal 1132 KUHPerdata : harta benda tersebut merupakan jaminan bagi semua kreditornya, hasil penjualan harta benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor kecuali bila diantara para kreditor ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan

Penamaan yang cocok adalah :
1.       A & Partner
2.       AB & Partner
3.       ABC & Parner
4.       ABC

                               
4.          A, B, C dan D adalah 4 sekawan sepat untuk mendirikan suatu perusahaan jasa dibidang perawatan lansia. B tidak ingin namanya dikenal sebagai salah satu pemilik perusahaan tersebut. A, B, C sepakat untuk mempercayakan pengelolaan perusahaan tersebut pada D.
Pertanyaan :
ð  Jelaskan menurut saudara, badan usaha apa yang paling tepat untuk didirikan oleh 4 sekawan tersebut.
Jawaban:
Badan usaha yang paling cocok untuk didirikan oleh 4 sekawan tersebut adalah CV, karena dalam CV ada dua sekutu yaitu sekutu aktif dan sekutu pasif.
Dengan memilih mendirikan CV maka B bisa menjadi sekutu pasif dimana B hanya menyetorkan modal tanpa ada namanya dalam pengelolaan perusahaan.
ð  Apakah badan usaha yang mereka dirikan merupakan badan hukum? Jelaskan
Jawaban:
Yang didirikan adalah CV. Untuk CV bukanlah merupakan badan usaha berbadan hukum. Karena CV tidak perlu didaftarkan dan mendapat persetujuan dari Kemenkumham dan tidak ada pemisahan harga badan usaha dengan harga pada sekutunya.
ð  Apakah B dapat melakukan pengurusan terhadap perusahaan tersebut? Jelaskan disertai dasar hukumnya.
Jawaban:
B tidak dapat melakukan pengurusan terhadap perusahaan, karena B merupakan sekutu Pasif yang hanya turut serta menyetorkan modal nya ke badan usaha, karena sejak awal B tidak ingin namanya dikenal sebagai pemilik badan usaha. Hal ini diatur dalam pasal 19-22 KUHD

5.       P, X, Y dan Z sepakat mendirikan PT yang bergerak dalam bidang travel. Mereka menyetorkans ejumlah modal yang sama besar kedalam PT dan mereka sepakat P diangkat sebagai komisaris. Sedangkan X diangkat menjadi direktur. Setelah dibuat anggaran dasar X melakukan perikatan terhadap pihak ketiga tanpa diketahui dan disetujui oleh P, Y dan Z. perikatan dengan pihak ketiga tersebut kemudian menimbulkan kerugian yang besar pada PT.
Pertanyaan
ð  Jelaskan tahap-tahap pendirian suatu PT
Jawaban: Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”).
1.       Membuat Akte Perusahaan.
Nama PT, Tempat dan kedudukan, Maksud dan Tujuan,
Struktur permodalan (UU no 40 tahun 2007) Modal dasar minimal 50jt & minimal 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor.
Pengurus PT
2.       Mendapatkan surat keterangan domisili usaha
3.       Membuat NPWP perusahaan
4.       Mendapatkan surat keputusan pengesahan akte pendirian perusahaan dari Departemen hukum dan Ham
5.       Mengurus SIUP
6.       Mengurus TDP

ð  Bagaimana tanggungjawab para pemegang saham yang menyebabkan kerugian sebelum pendirian PT disahkan oleh menteri hukum dan HAM, Jelaskan
Jawaban: Menurut Pasal 3 ayat (2) UU PT
Sebelum pendirian PT mendapatkan pengesahkan dari menteri Hukum dan Ham, maka belum terdapat pemisahan harga kekayaan antara persekutuan dengan pribadi sekutu-sekutunya maka jika terjadi kerugian perusahaan sebelum mendapatkan pengesahan ini, pemegang saham bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi secara pribadi, apabila jumlah kerugian melebihi asset yang dimiliki PT maka pemilik saham harus bertanggungjawab atas kerugian sampai dengan harga pribadi yang dimilikinya

ð  Bagaimana tanggungjawab para pemegang saham yang menyebabkan kerugian sesudah pendirian PT di sah kan oleh mentri humum dan HAM, Jelaskan.
Jawaban: menurut Pasal 3 ayat (1) UUPT
“Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”
Berdasarkan penjelasan UUPT tersebut, maka Jika pendirian PT sudah mendapatkan pengesahkan dari menteri Hukum dan Ham, maka sudah ada pemisahan harga kekayaan antara persekutuan dengan pribadi sekutu-sekutunya maka jika terjadi kerugian perusahaan para pemegang saham bertanggungjawab atas kerugian hanya sebatas modal yang disetorkan atau nilai saham yang dimilikinya saja.


                     
6.       Jelaskan perbedaan :
ð  Firma dengan CV
Jawab
Perbedaan Firma dengan CV dapat dilihat dari beberapa sisi antara lain:
1.       Pengertian
Menurut pasal 16 KUHD Firma merupakan perserikatan yang terdiri dari dua orang atau lebih untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama, sedangkan CV merupakan persekutuan Firma yang mempunyai satu atau beberapa orang sekutu komanditer
2.       Dasar Hukum
Secara bersama firma dan CV diatur dalam ketentuan KUHPer, yaitu ketentuan tentang persekutuan perdata dan perikatan (pasal 1282, 1616-1645) namun secara penjabaran pada Firma diatur dalam KUHD pasal 16-35 sedangkan khusus mengenai CV  diatur dalam KUHD pasal 19-22.
3.       Pendirian
Firma didirikan berdasarkan akta otentik (diatur dalam KUHD pasal 22), akta pendirian harus didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri dan diumumkan melalui berita negara (pasal 23 & 28 KUHD) untuk menjalankan operasionalnya harus mengurus izin daftar perusahaan (UU no 3 tahun 1982), UKL, UPL/AMDAL (UU no 32 Tahun 2009)Dsb, sedangkan pada CV pendiriannya harus melalui suatu perjanjian pendirian karena melibatkan lebih dari satu orang. Setelah proses pendirian selesai pengusaha harus mendaftarkan CV pada departemen perindustrian dan perdagangan sesuai peraturan perundang-undangan tentang wajib daftar perusahaan.
4.       Tanggungjawab
Pad Firma, setiap sekutu dapat dapat melakukan perikatan dengan pihak ketiga untuk dan atas nama perseroan tanpa perlu adanya surat kuasa khusus dari sekutu lainnya. Jadi semua sekutu bertanggungjawab secara tanggung menanggung/tanggung renteng (KUHD padal 18) sedangkan pada CV terdapat dua macam sekutu yaitu sekutu aktif (komlementer) yang disamping mananamkan modal kedalam perusahaan juga bertugas mengurus perusahan dan sekutu pasif(komanditer) yang hanya memasukkan modal saja dan tidak terlibat atas pengurusan perusahaan, akibat dari hal tersebut. Tanggungjawab sekutu aktif dan sekutu pasif menjadi berbeda. Sekutu aktif bertanggungjawab tidak hanya sebatas kekayaan CV namun juga kekayaan pribadi jika diperlukan, sednagkan untuk sekutu pasif hanya bertanggungjawab sebatas modal yang disetorkan kedalam CV (Pasal 21 KUHD).
5.       Rugi/Laba
Pada Firma pembagian kerugian dan laba diatur dalam pasal 1633-1635KUHPer, pasal ini mengatur jika kerugian/keuntungan tidak diatur tersendiri dalam perjanjian dengan batasan : 1. Tidak diperbolehkan memberikan seluruh keuntungan pada sorang sekutu saja, 2. Diperbolehkan jika membagi kerugian pada seorang sekutu saja. 3. Penetapan pembagian keuntungan oleh pihak ketiga tidak diperbolehkan. Sedangkan pada CV, jika pembagian kerugian dan keuntungan tidak diatur dalam perjanjikan maka berlaku ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUHD dimana sekutu aktif tidak bertanggungjawab sebatas modal disetor namun juga terhadap harta pribadi yang dimilikinya, sedangkan untuk sekutu pasif hanya sebatas modal yang disetorkan. (pasal 1625 KUHPer & pasal 20 ayar 3 KUHD).   


ð  PT dengan PT (Persero)
Jawaban:
Perbedaan PT dengan PT (Persero) dapat dilihat dari beberapa sisi, antara lain:
1.       Jumlah Pendiri atau Pemegang saham.
Pada Pasal 7 Ayat (1) UU PT mengenai syarat pendirian PT “dua orang atau lebih” tidak diperlukan pada pendirian Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, tetapi tetap berlaku untuk Persero yang hanya sebagian saja modalnya dimiliki negara (selanjutnya dikategorikan menjadi PT Terbuka). Sedangkan untuk PT syarat tersebut masih berlaku.
2.       Kepemilikan saham
Pada PT kepemilikan saham sepenuhnya milik masyarakat sedangkan Untuk PT (Persero) kepemilikan saham bisa sepenuhnya oleh pemerintah maupun minimal 51% milik pemerintah serta selebihnya milik masyarakat umum (Pasal 7 Ayat (7) UU PT).
3.       Audit
Untuk PT audit hanya dilakukan oleh audit internal dan audit eksternal sedangkan untuk PT Persero, audit juga dilakukan oleh BPK (UU No. 19 tahun 2003 dan UU No. 40 tahun 2007). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat melakukan audit terhadap Persero sebagai akibat UU No. 17 tahun 2003 dan UU No.1 tahun 2004 masih menganggap bahwa kekayaan Persero adalah keuangan negara.













Senin, 02 Desember 2019


ANALISIS COMMERCIAL EXIT FROM FINANCIAL DISTRESS
DALAM PUTUSAN PAILIT PT. MANDALA AIRLINES


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Definisi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Kepailitan sering dianggap sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan cacat hukum atas subjek hukum, sehingga kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor.1
Perseroan Terbatas adalah pelaku utama dalam lalu lintas perekonomian, maka perseroan terbatas memiliki peranan yang sangat penting untuk mengembangkan sektor perekonomian. Apabila perseoran terbatas mengalami permasalahan, Salah satunya adalah persoalan ketidakmampuan perseroan untuk meneruskan kegiatan usahanya. yang akan memiliki implikasi yang luas seperti kemampuan untuk membayar kembali hutang perseroan, kemampuan untuk menghasilkan profit berdampak untuk keberlangsungan perseroan. Secara prinsip bahwa kepailitan bukanlah semata sebuah upaya untuk mempermudah sebuah usaha baik itu milik perorangan maupun korporasi menjadi bangkrut, melainkan kepailitan adalah salah satu upaya untuk mengatasi kebangkrutan sebuah usaha. M.Hadi Shubhan mengutip pendapat Ricardo Simanjuntak bahwa kepailitan khususnya corporate insolvency sebenarnya merupakan exit from financial distress, jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan.
Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.2 Melalui Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 48/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN.NIAGA.JKT.PST. PT. Mandala Airlines, badan hukum perseroan terbatas yang menjalankan usaha dalam bidang angkutan udara niaga berjadwal telah dinyatakan pailit.
__________
1 M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 2.
2 Ibid., hal. 305.
Permohonan pailit diajukan sendiri oleh PT. Mandala Airlines, dalam permohonan pailitnya PT.Mandala Airlines mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut akibat begitu ketatnya persaingan usaha di Indonesia. Sebelumnya PT. Mandala Airlines pernah mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dikabulkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Putusan No. 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung No. 070 PK/Pdt.Sus/2011, meskipun telah kembali melanjutkan kegiatan usahanya, ternyata PT. Mandala Airlines tetap mengalami kesulitan finansial (keuangan) dan tidak mampu untuk membayar utangutangnya kepada para kreditor. Bahkan PT. Mandala Airlines mengaku tidak pernah memperoleh keuntungan atau mendekati untung pada kuartal operasi manapun yang memberikan dampak yang besar terhadap kemampuan finansial PT.Mandala Airlines.3

B.     Masalah
Berangkat dari pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan Analisis Bagaimana penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam hukum kepailitan yang ditinjau dari putusan pailit PT. Mandala Airlines berjudul “Analisis Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT. Mandala Airlines (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST)”.












__________
3  Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan Nomor 48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST

PEMBAHASAN
A. Tinjauan Hukum Kepailitan di Indonesia
1. Pengertian Pailit dan Tujuan Hukum Kepailitan
Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt” adalah the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is unable to pay its debt as they are, or became due. The terms includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt. Dari pengertian tersebut, pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. “Ketidakmampuan untuk membayar” diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan harus disertai dengan proses pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitor. Keputusan pailitnya debitor harus berdasarkan keputusan pengadilan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga ketidakmampuan seorang debitor itu dapat diketahui oleh umum. Seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.4 Mengenai pengertian kepailitan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU): Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kemudian pengertian pailit tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan bahwa: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dari beberapa pengertian diatas, pengertian pailit adalah kondisi dimana berhentinya pembayaran dari debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo, dan berhentinya pembayaran tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri maupun permintaan pihak ketiga.
__________
4 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 20-21.
Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasan umumnya mengemukakan bahwa undang-undang tersebut didasarkan pada beberapa asas. Asas tersebut antara lain adalah:
1.   Asas Keseimbangan. ini mengatur beberapa perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2.   Asas Kelangsungan Usaha. Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3.   Asas Keadilan. Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memedulikan Kreditor lainnya.
4.   Asas Integrasi. Asas integrase ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional
Prinsip hukum merupakan ratio legis dari norma hukum. Penggunaan prinsip hukum sebagai dasar bagi hakim untuk memutus perkara dalam kepailitan memperoleh legalitasnya dalam Undang-Undang Kepailitan. Secara expressis verbis, Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa sumber hukum tidak tertulis termasuk pula prinsip-prinsip hukum dalam kepailitan dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk memutus. Ada beberapa prinsip dalam kepailitan yang harus diperhatikan agar undang-undang dapat memenuhi beberapa kebutuhan utama dunia usaha. Bahkan Undang-Undang Kepailitan suatu negara tidak boleh sampai mengganggu dunia usaha pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya.5 Prinsip-prinsip kepailitan yang dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu prorata parte, prinsip structured creditors, prinsip utang dalam arti luas, prinsip debt collection, prinsip universal dan prinsip teritorial. Prinsip yang tidak dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip debt forgiveness, prinsip fresh-starting, prinsip pembatasan jumlah minimal utang dan prinsip commercial exit from financial distress.
__________
5 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.25-26.
Sedangkan prinsip yang dianut secara ambiguitas (mendua) adalah prinsip debt pooling.6 Dalam penjelasan umum UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU juga dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:
i.     Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam jangka waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor;
ii.   Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang Hak Jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang miliki Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya;
iii. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri.
Ketiga hal tersebut yang merupakan tujuan dibentuknya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang adalah produk hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan pembangunan hukum masyarakat.7
2. Syarat Insolvensi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU agar seorang Debitor dapat dimohonkan untuk dipailitkan adalah selain Debitor memiliki dua atau lebih Kreditor juga cukup apabila satu utang kepada salah satu Kreditornya telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sama sekali tidak dipersyaratkan bahwa Debitor telah dalam keadaan insolven. Menurut Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU bahkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan terhadap perusahaan yang masih solven.8 Debitor telah berada dalam keadaan Insolven hanya apabila jumlah nilai kewajibannya (utangnya) telah lebih besar daripada nilai asetnya (harta kekayaannya). Keadaan demikian disebut balance sheet insolvency
__________
6 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, (Bandung:PT. Alumni, 2012), hal. 183.
7 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami UndangUndang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2016), hal. 9.
8 Ibid., hal.138. 10 Ibid.,hal.129.
Balance sheet insolvency dilawankan dengan cash-flow insolvency, yaitu keadaan keuangan Debitor yang tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar utangnya pada saat telah jatuh tempo karena arus pemasukan (cash flow) Debitur lebih kecil daripada arus pengeluarannya (cash outflow) sekalipun nilai asetnya masih lebih besar daripada nilai kewajibannya (belum mengalami balance sheet insolvency).9 
Adapun pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU mengatakan: Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.
Penjelasan terkait Insolvensi dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK-PKPU bahwa yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu membayar. Sehingga terminologi yuridis “insolven” dalam tahap pemberesan pailit seperti yang ada dalam UUK-PKPU memiliki makna khusus dibandingkan dengan makna “insolven” secara umum. Insolven secara umum merupakan keadaan suatu perusahaan yang kondisi aktivanya lebih kecil dari pasivanya. Hal ini biasa disebut sebagai technical insolvency. Sedangkan insolven dalam tahap pemberesan kepailitan adalah satu tahap di mana akan terjadi jika tidak terjadi suatu perdamaian sampai dihomologasi dan tahap ini akan dilakukan suatu pemberesan terhadap harta pailit. Konsekuensi yuridis dari insolven debitor pailit adalah harta pailit akan segera dilakukan pemberesan oleh kurator.10 Undang-Undang Kepailitan di Indonesia belum mengenal adanya instrument insolvensi tes. Insolvensi tes (insolvency test) adalah audit keuangan atau financial audit yang dilakukan suatu kantor akuntan publik yang independen untuk menentukan apakah keadaan keuangan debitor yang dimohonkan pailit memang sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya atau dengan kata lain debitor telah dalam keadaan insolven.11
B. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress dalam Kepailitan Perseroan Terbatas
Pengertian Financial Distress dan Kebangkrutan Perseroan Terbatas
Perkembangan perekonomian modern yang terjadi di Indonesia semakin lama semakin meningkat secara signifikan. Perkembangan ini mengakibatkan adanya tuntutan bagi perusahaan untuk mengembangkan inovasi serta melakukan perluasan agar mampu bersaing. Perusahaan yang tidak mampu bersaing akan mengalami kebangkrutan, sebelum terjadi kebangkrutan, perusahaan akan mengalami financial distress (kesulitan keuangan).12
__________
10 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.144.
11 Wawan Kennardi, Tinjauan Yuridis Ekonomi Kebutuhan Tes Insolvensi (Insolvency Test) Pada Permohonan Kepailitan di Indonesia dan Kemungkinan Penerapannya, Tesis, (Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hal.50.
12 Amelia Fatmawati, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Manufaktur di BEI), Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol.6, No.10, (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya, 2017), hal. 2.
Financial distress adalah suatu kondisi dimana perusahaan sedang menghadapi masalah kesulitan keuangan. Financial distress didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi yang tergambar dari ketidakmampuan perusahaan atau tidak tersedianya suatu dana untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo.13 Salah satu indikator untuk melihat Financial Distress menurut Ross & Westerfield dalam buku Corporate Finance, Financial Leverage adalah leverage perusahaan (penggunaan aset dan sumber dana oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan), yaitu tingkat di mana perusahan bergantung kepada pembiayaan dengan hutang daripada modal (equity). Semakin banyak perusahaan memiliki hutang, maka kemungkinan besar perusahaan akan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban kontraktual. Dengan kata lain, terlalu banyak hutang dapat menyebabkan tingginya probabilitas insolvency dan financial distress. 14 Kesulitan keuangan suatu perusahaan bisa terjadi bermacam-macam tipe. Dalam teori keuangan perusahaan yang lazim dikenal pada manajemen keuangan membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi:15
a.       Economic Failure Kondisi pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang mengalami economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian (return) di bawah tingkat bunga pasar.
b.      Business Failure Istilah ini digunakan oleh Dun & Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefinisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan sebagai gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ menutup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.
c.       Technical Insolvency Sebuah perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical insolvency ini mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara di mana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak, apabila technical insolvency ini merupakan gejala awal dari economic failure, maka hal ini merupakan tanda ke arah bencana keuangan (financial disaster).
d.      Insolvency in Bankruptcy Kondisi bilamana buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari aset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius bila dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda dari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.

__________
13 Mitha Christina Ginting, Pengaruh Current Ratio dan Debt to Equity Ratio (DER) Terhadap Financial Distress pada Perusahaan Property & Real Estate di Bursa Efek Indonesia, Jurnal Manajemen, Vol.3 No.2, (Universitas Methodist Indonesia, 2017), hal. 38.
14 Ahmad Hanin Fatah, Penyebab Financial Distress di PT.Petrowidada, Tesis, (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002), hal. 13.
15 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal. 54.
e.       Legal Bankruptcy Keadaan dimana perusahaan telah mengajukan klaim kebangkrutan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Putusan pailit yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah contohnya.
Altman menggunakan model statistik Multiple Discriminant Analysis (MDA), yakni Z-Score model yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan bangkrut dan tidak bangkrut dengan mengkombinasikan lima rasio keuangan. Financial distress dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan rumus Altman Z-Score, dengan model sebagai berikut:16
Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5
Keterangan :
X1 = Modal kerja/Total Aset. X2 = Laba ditahan/Total Aset. X3 = Laba sebelum bunga dan pajak/Total Aset. X4 = Ekuitas pemegang saham/Total Kewajiban. X5 = Penjualan/Total Aset
Singkatnya, dampak financial distress adalah dapat membawa perusahaan mengalami kesulitan dalam membayarkan kewajiban yang ditanggung. Menurut Anggarini, perusahaan yang mengalami financial distress (kesulitan keuangan) akan menghadapi kondisi:17
a.       Tidak mampu memenuhi jadwal atau kegagalan pembayaran kembali hutang yang sudah jatuh tempo kepada kreditor.
b.      Perusahaan dalam kondisi tidak solvable (insolvency)
Kebangkrutan adalah suatu keadaan perusahaan yang mengalami deteriosasi adaptasi perusahaan dengan lingkungannya yang sampai membawa akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu yang berkelanjutan yang pada akhirnya menjadikan perusahaan tersebut kehilangan sumber daya dan dana yang dimiliki sebagai akibat dari gagalnya perusahaan melakukan pertukaran yang sehat antara keluaran (output) yang dihasilkan dengan masukan (input) baru yang harus diperoleh. Pada prinsipnya, Perseroan Terbatas yang mengalami kebangkrutan maka hanya memiliki dua pilihan jalan keluar yakni pembubaran perusahaan yang didalamnya terdapat alternatif kepailitan ataukah dilakukan turnaround untuk melakukan recovery perusahaan.18


__________
16 Rice, Altman Z-Score: Mendeteksi Financial Distress, Jurnal Wira Ekonomi Mikroskill Vol.5, No.02, Oktober 2015, hal. 112.
17 Chalendra Prasetya Agusti, Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kemungkinan Terjadinya Financial Distress, Skripsi, (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, 2013), hal.22
18 M.Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.50.
Kepailitan bagi perseroan terbatas tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti melakukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis berhenti melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan direktur. Semua kewenangan tiga organ perseroan tersebut beralih kepada kurator sepanjang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan saja. Hal ini berarti di dalam kewenangan kurator tercakup semua kewenangan organ perseroan terbatas. Ketentuan kepailitan di Indonesia memungkinkan perseroan yang sudah dinyatakan pailit untuk tetap melanjutkan usahanya (on going concern). dalam kepailitan dimungkinkan perusahaan untuk tetap melanjutkan kegiatan usahanya, hanya saja dalam hal ini Kurator yang berwenang menjalankannya.19 Dengan masih tetapnya eksistensi badan usaha perseroan dalam pailit, maka dimungkinkan going concern dari usaha perseroan ini.
3. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. Kemudahan untuk mempailitkan suatu debitor sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan financial dari usaha debitor. Prinsip commercial exit from financial distress merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan perseroan terbatas. M.Hadi Shubhan mengutip pendapat Ricardo Simanjuntak yang menyatakan bahwa kepailitan khususnya corporate insolvency sebenarnya merupakan exit from financial distress, jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan. Prinsip commercial exit from financial distress tidak dianut oleh ketentuan kepailitan di Indonesia. Prinsip yang dianut dalam UUK-PKPU adalah kemudahan untuk mempailitkan subjek hukum yang berkaitan dengan debt collective proceeding. Kemudahan dalam mempailitkan suatu badan hukum bukan dalam konteks untuk mempercepat proses kepailitan terhadap badan hukum yang memang sudah seharusnya demikian. Proposisi ini terlihat dari ditentukannya syarat materiil untuk mempailitkan subjek hukum, yakni mempunyai dua atau lebih kreditor serta salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Prinsip kemudahan mempailitkan tersebut bahkan ditambah lagi dengan ketentuan pembuktian yang sederhana.20
__________
19 Sulaiman, Alfin, “Akibat Kepailitan Perusahaan Induk Terhadap Perusahaan Cabang”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5520b504efbbd/akibat-kepailitan-perusahaan-induk-terhadap-perusahaan-cabang/, diakses pada 2 Desember 2019.
20 Ibid. hal. 196.
C. Analisis Yuridis Penerapan Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines
1. Kasus Posisi PT.Mandala Airlines
PT.Mandala Airlines adalah perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang angkutan udara yang dipimpin oleh Paul Rombeek selaku Presiden Direktur yang pada tanggal 9 Desember 2014 mengajukan permohonan pailit atas perseroannya (voluntary petition of self bankruptcy) melalui kuasa hukumnya dari kantor Jakarta Legal Group dengan ditandatanganinya surat kuasa tertanggal 6 November 2014. Dalil Permohonan pailit PT.Mandala Airlines adalah karena mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut akibat mengalami pasang surut dan berulang kali menghadapi kesulitan-kesulitan keuangan mengingat begitu ketatnya persaingan di Indonesia.21
PT.Mandala Airlines sebelumnya pernah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan restrukturisasi atas utang-utangnya kepada kreditor pada itu dan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No. 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 17 Januari 2011 jo. Putusan Mahkamah Agung No.070/PK/Pdt.Sus/2011 tanggal 20 Juli 2011. Kesulitan keuangan tersebut tercermin dalam laporan keuangan per tanggal 31 Desember 2013 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Purwantono, Suherman & Surja.22 Adapun hal-hal yang menyebabkan kesulitan keuangan antara lain: Biaya yang besar yang timbul untuk perawatan (maintenance) pesawat-pesawat milik pihak ketiga yang digunakan oleh Mandala Airlines berdasarkan perjanjian leasing; Kenaikan tajam biaya pembelian bahan bakar pesawat sejak tahun 2008 sampai dengan 2014; Infrastruktur airport yang belum memadai untuk menyokong operasi penerbangan domestic yang berkesinambungan; Slot yang terbatas pada bandar udara yang kemudian membatasi skala operasi ekonomi perusahaan; Penumpukan biaya-biaya operasional yang terakumulasi dalam waktu yang panjang sehingga mencapai jumlah yang sangat besar; dan Depresiasi mata uang Rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat, dimana sebagian besar atau hampir seluruh biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Mandala Airlines sebagaimana disebutkan di atas menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat. Untuk mengantisipasi kesulitan keuangan tersebut Mandala Airlines telah telah mengurangi biaya dengan cara mengurangi jumlah armada dari 9 menjadi hanya 5 pesawat dan berikutnya hingga 4 pesawat dan mengurangi pengeluaran dengan mensyaratkan bahwa seluruh pengeluaran harus disetujui oleh 1 pemegang saham. Untuk meningkatkan pendapatan pun, Mandala Airlines telah mengkombinasikan penerbangan internasional dan domestik serta memperkenalkan rute yang lebih popular seperti Hongkong ke Denpasar. Namun ternyata, dengan berlanjutnya over kapasitas di sektor penerbangan Indonesia, Mandala Airlines terus menghadapi tekanan dari sisi-
_________
21 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan Nomor 48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST, hal. 1.
22 Ibid., hal.3.
bisnis dan tidak dapat meningkatkan pendapatan dibandingkan dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan. Kerugian terus berlanjut tanpa dapat dihindari, dan sebagai dampak kesulitan finansial (keuangan) tersebut, PT.Mandala Airlines melakukan penghentian kegiatan usaha per tanggal 1 Juli 2014 dengan tujuan untuk mengurangi penambahan beban finansial, karena jika diteruskan maka akan memperburuk kondisi keuangan perusahaan dengan bertambahnya beban biaya operasional dan biaya-biaya lainnya. Pengajuan permohonan pailit didasarkan dengan adanya utang PT.Mandala Airlines kepada kreditor yang telah jatuh waktu dan belum dibayar.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 9 Februari 2015 mengabulkan permohonan pailit dengan menyatakan PT.Mandala Airlines Pailit dengan segala akibat hukumnya serta menunjuk Titik Tejaningsih,S.H. MH Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai hakim pengawas dan mengangkat Anthony LP Hutapea S.H.,M.H. sebagai Kurator dalam kepailitan ini.
2. Penerapan Prinsip Commercial Exit From Financial Distress dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak mengatur secara lebih lanjut mengenai apabila permohonan pailit diajukan oleh Debitor yang berbentuk Perseroan Terbatas, melalui Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan anggaran dasar dan dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:
(1)   Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Artinya permohonan pailit atas Perseroan sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapatkan persetujuan dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Dalam permohonan pailit PT.Mandala Airlines, pengajuan permohonan pailit tersebut sudah memiliki landasan hukum yang kuat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena didasarkan dengan Akta No.24 tanggal 11 Agustus 2014 Pernyataan Keputusan Rapat PT.Mandala Airlines yang didalamnya tercatat nama Paul Rombeek sebagai direktur dan disebutkan bahwa direksi diberi kewenangan sebanyak 6 (enam) poin, salah satu diantaranya menyetujui pemberian kewenangan kepada Direksi untuk mengajukan permohonan pailit. Terkait dengan keberatan yang diajukan oleh Dewan Komisaris terkait legal standing Paul Rombeek selaku Direksi Perseroan, karena telah terjadi kekosongan jabatan Direksi sejak tanggal 17 Desember 2014 dimana hal tersebut terjadi sesudah diajukannya permohonan pailit pada tanggal 09 Desember 2014. Sehingga keputusan Majelis Hakim yang mengesampingkan keberatan Dewan Komisaris karena Majelis tidak menemukan satu alat bukti apapun yang dapat melemahkan Akta No.24 tanggal 11 Agustus 2014 sudah tepat. Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan Perseroan Terbatas. Prinsip ini memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. Kepailitan adalah merupakan salah satu pranata hukum untuk melakukan percepatan likuidasi terhadap subjek hukum yang mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan utang lebih besar dari aset subjek hukum tersebut. Pada kasus Permohonan Pailit oleh debitor sendiri, yakni PT.Mandala Airlines, kepailitan merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran utang terhadap para kreditornya. Perusahaan yang semula diprediksikan akan berjalan sesuai dengan business forecasting / planning ternyata dalam perjalanannya tidak sesuai dengan harapan Karena pada dasarnya prinsip ini tidak dinormakan dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang adalah dasar aturan pailit di Indonesia, maka tidak terlihat dalam putusannya Majelis Hakim mempertimbangkan kemampuan perusahaan apakah masih solven atau tidak meskipun dalam dalilnya PT.Mandala Airlines berusaha membuktikan bahwa perusahaan sedang dalam kondisi bangkrut. Sehingga perlu adanya penambahan persyaratan materiil terhadap pemailitan perseroan terbatas yang diatur dalam ketentuan kepailitan di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pembuktian solven atau tidaknya suatu perusahaan.






PENUTUP
Kesimpulan
1.   Pengaturan hukum kepailitan di Indonesia didasarkan pada sejumlah asas-asas dan prinsip-prinsip kepailitan. Dimensi keadilan dari proses kepailitan adalah terletak pada dilindunginya kepentingan dari kedua belah pihak baik para kreditor mupun debitor. Hal tersebut diwujudkan dengan UndangUndang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang didasarkan pada asas keseimbangan, asas kelangsungan, asas keadilan, dan asas integrasi.
2.   Prinsip commercial exit from financial distress yang ditemukan dalam kepailitan perseroan terbatas adalah jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit perseroan, diakibatkan perseroan sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang kepada para kreditornya. Perseroan terbatas yang mengalami kebangkrutan hanya memiliki dua pilihan jalan keluar, yakni pembubaran perusahaan yang didalamnya terdapat alternatif kepailitan ataukah dilakukan recovery perusahaan melalui reorganisasi. Perseroan yang telah menyelesaikan utang-utangnya melalui mekanisme kepailitan dapat menata kembali manajemennya, sehingga dapat memulai usahanya kembali dengan keadaan yang lebih baik (fresh start), dan pada akhirnya dapat membawa pengaruh positif bagi perekonomian negara.
3.   Penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines yang ditetapkan melalui Putusan No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST diterapkan secara benar dan konsisten yakni bahwa kepailitan merupakan pranata yang digunakan sebagai jalan keluar terhadap subjek hukum yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Hal tersebut dapat dilihat dari dalil utama permohonan pailit PT.Mandala Airlines yang mengajukan permohonan pailit (voluntary petition) karena telah mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut (financial distress) akibat ketatnya persaingan usaha dalam kegiatan angkutan udara niaga di Indonesia. Perusahaan yang semula diprediksikan akan berjalan sesuai dengan business forecasting / planning ternyata dalam perjalanannya tidak sesuai dengan harapan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi PT.Mandala Airlines yang sebelumnya telah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dikabulkan melalui Putusan No. 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung No.070/PK/Pdt.Sus/2011 bertujuan untuk melakukan restrukturisasi perusahaan dengan masuknya investor strategis sebagai salah satu pemegang saham PT.Mandala Airlines ternyata gagal, karena PT.Mandala Airlines tetap tidak memperoleh keuntungan setelah PKPU berakhir. PT.Mandala Airlines menjadikan kepailitan sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium) dan lebih mengedepankan reorganisasi perusahaan yang merupakan premium remedium (the first resort).

















DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Subhan, Handi M. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma & Praktik Dipengadilan). Skripsi. Surabaya: Prenada Mulia. 2017
Agusti, Chalendra Prasetya. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kemungkinan Terjadinya Financial Distress. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro. 2013.
Fatah, Ahmad Hanin. Penyebab Financial Distress di PT.Petrowidada. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2002.
Kennardi, Wawan. Tinjauan Yuridis Ekonomi Kebutuhan Tes Insolvensi (Insolvency Test) Pada Permohonan Kepailitan di Indonesia dan Kemungkinan Penerapannya. Tesis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2015.
Prasetya, Rudhi. Teori & Praktik Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus. Cet.ke-4. Jakarta: Kencana. 2014.
Shubhan, M.Hadi. Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana. 2008.
Sjahdeini, Sutan Remy. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Jakarta:Prenadamedia Group. 2016.
Sunarmi. Hukum Kepailitan. Medan: USU Press. 2009. Sunarmi. Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia. Edisi 2. Jakarta: PT.Sofmedia. 2010.
B.     Peraturan Perundang-Undangan Indonesia.
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004, LN Nomor 131 Tahun 2004. TLN No.4443.
Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas. UU No. 40 Tahun 2007. LN Nomor 106 Tahun 2007. TLN No.4756.
Putusan Pengadilan Niaga Nomor 48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST.
C.    Jurnal
Fatmawati, Amelia. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Manufaktur di BEI). Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol.6, No.10, Oktober 2017. ISSN: 2460-0585.
Mantili, Rai. Proses Kepailitan Oleh Debitor Sendiri Dalam Kajian Hukum Acara Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Jurnal Hukum Acara Perdata Adhaper Vol.1 No.2, Desember 2015. ISSN 2442-9090.
Rice, Altman Z-Score: Mendeteksi Financial Distress. Jurnal Wira Ekonomi Mikroskill Vol.5, No.02, Oktober 2015.
D.    Artikel
Pradana, Rio Sandy, “Mandala Airlines Tidak Mampu Lunasi Utang Rp1,8 Triliun”, https://ekonomi.bisnis.com/read/20150723/98/455641/mandala-airlines-tidak-mampu-lunasi-utang-rp18-triliun, diakses pada 2 Desember 2019.
Jatmiko, Bambang Priyo, “Tak Sanggup Bayar Utang, Mandala Air Ajukan Pailit”, https://money.kompas.com/read/2014/12/23/094743226/Tak.Sanggup.Bayar.Utang.Mandala.Air.Ajukan.Pailit, diakses pada 2 Desember 2019.
Nisa, Umi Zhahratun dkk. “Model Prediksi Financial Distress Pada Perusahaan Manufaktur Go Public di Indonesia”, https://docplayer.info/32855206-Model-prediksi-financial-distress-pada-perusahaan-manufaktur-go-public-di-indonesia.html diakses pada 2 Desember 2019.
Sulaiman, Alfin, “Akibat Kepailitan Perusahaan Induk Terhadap Perusahaan Cabang”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5520b504efbbd/akibat-kepailitan-perusahaan-induk-terhadap-perusahaan-cabang/, diakses pada 2 Desember 2019.