ANALISIS
COMMERCIAL EXIT FROM FINANCIAL DISTRESS
DALAM
PUTUSAN PAILIT PT. MANDALA AIRLINES
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Definisi kepailitan sering dipahami
secara tidak tepat oleh kalangan umum. Kepailitan sering dianggap sebagai vonis
yang berbau tindakan kriminal serta merupakan cacat hukum atas subjek hukum,
sehingga kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Oleh karena
itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau
penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor.1
Perseroan Terbatas adalah pelaku
utama dalam lalu lintas perekonomian, maka perseroan terbatas memiliki peranan
yang sangat penting untuk mengembangkan sektor perekonomian. Apabila perseoran
terbatas mengalami permasalahan, Salah satunya adalah persoalan ketidakmampuan
perseroan untuk meneruskan kegiatan usahanya. yang akan memiliki implikasi yang
luas seperti kemampuan untuk membayar kembali hutang perseroan, kemampuan untuk
menghasilkan profit berdampak untuk keberlangsungan perseroan. Secara prinsip
bahwa kepailitan bukanlah semata sebuah upaya untuk mempermudah sebuah usaha
baik itu milik perorangan maupun korporasi menjadi bangkrut, melainkan
kepailitan adalah salah satu upaya untuk mengatasi kebangkrutan sebuah usaha.
M.Hadi Shubhan mengutip pendapat Ricardo Simanjuntak bahwa kepailitan khususnya
corporate insolvency sebenarnya
merupakan exit from financial distress,
jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi
terselesaikan. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban
yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur, maka langkah untuk
mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy)
menjadi suatu langkah yang memungkinkan.
Prinsip commercial exit from
financial distress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah
merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami
kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai
pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.2 Melalui Putusan
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 48/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN.NIAGA.JKT.PST. PT.
Mandala Airlines, badan hukum perseroan terbatas yang menjalankan usaha dalam
bidang angkutan udara niaga berjadwal telah dinyatakan pailit.
__________
1 M.Hadi
Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:
Kencana, 2008), hal. 2.
2 Ibid.,
hal. 305.
Permohonan pailit diajukan sendiri
oleh PT. Mandala Airlines, dalam permohonan pailitnya PT.Mandala Airlines
mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut akibat begitu ketatnya
persaingan usaha di Indonesia. Sebelumnya PT. Mandala Airlines pernah
mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang
dikabulkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Putusan No.
01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung No. 070
PK/Pdt.Sus/2011, meskipun telah kembali melanjutkan kegiatan usahanya, ternyata
PT. Mandala Airlines tetap mengalami kesulitan finansial (keuangan) dan tidak
mampu untuk membayar utangutangnya kepada para kreditor. Bahkan PT. Mandala
Airlines mengaku tidak pernah memperoleh keuntungan atau mendekati untung pada
kuartal operasi manapun yang memberikan dampak yang besar terhadap kemampuan
finansial PT.Mandala Airlines.3
B.
Masalah
Berangkat dari pemaparan diatas,
maka penulis tertarik untuk melakukan Analisis Bagaimana penerapan prinsip commercial exit from financial distress
dalam hukum kepailitan yang ditinjau dari putusan pailit PT. Mandala Airlines
berjudul “Analisis Commercial Exit From
Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT. Mandala Airlines (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Niaga No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST)”.
__________
3 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan Nomor
48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Hukum Kepailitan di
Indonesia
1.
Pengertian Pailit dan Tujuan Hukum Kepailitan
Dalam
Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt” adalah the state or conditional of a person (individual, partnership,
corporation, municipality who is unable to pay its debt as they are, or became
due. The terms includes a person against whom an involuntary petition has been
filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a
bankrupt. Dari pengertian tersebut, pengertian pailit dihubungkan dengan
“ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang
telah jatuh tempo. “Ketidakmampuan untuk membayar” diwujudkan dalam bentuk
tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan harus disertai dengan proses
pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas
permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selanjutnya pengadilan akan
memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitor. Keputusan
pailitnya debitor harus berdasarkan keputusan pengadilan untuk memenuhi asas
publisitas, sehingga ketidakmampuan seorang debitor itu dapat diketahui oleh
umum. Seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit
dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.4 Mengenai pengertian
kepailitan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU): Kepailitan adalah
sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini. Kemudian pengertian pailit tercermin dalam Pasal 2
ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan bahwa: Debitor yang mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih kreditornya. Dari beberapa pengertian diatas, pengertian pailit adalah
kondisi dimana berhentinya pembayaran dari debitor atas utang-utangnya yang
telah jatuh tempo, dan berhentinya pembayaran tersebut harus disertai dengan
suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh
debitor sendiri maupun permintaan pihak ketiga.
__________
4 Sunarmi, Hukum
Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 20-21.
Undang-Undang
No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dalam penjelasan umumnya mengemukakan bahwa undang-undang tersebut didasarkan
pada beberapa asas. Asas tersebut antara lain adalah:
1. Asas
Keseimbangan. ini mengatur beberapa perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di
satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak
terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas
Kelangsungan Usaha. Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang
memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas
Keadilan. Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan
masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memedulikan Kreditor lainnya.
4. Asas
Integrasi. Asas integrase ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil
dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional
Prinsip
hukum merupakan ratio legis dari norma hukum. Penggunaan prinsip hukum sebagai
dasar bagi hakim untuk memutus perkara dalam kepailitan memperoleh legalitasnya
dalam Undang-Undang Kepailitan. Secara expressis verbis, Pasal 8 ayat (6)
Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa sumber hukum tidak tertulis termasuk
pula prinsip-prinsip hukum dalam kepailitan dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk memutus. Ada beberapa prinsip dalam kepailitan yang harus diperhatikan
agar undang-undang dapat memenuhi beberapa kebutuhan utama dunia usaha. Bahkan
Undang-Undang Kepailitan suatu negara tidak boleh sampai mengganggu dunia usaha
pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya.5 Prinsip-prinsip
kepailitan yang dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip paritas
creditorium, prinsip pari passu prorata parte, prinsip structured creditors,
prinsip utang dalam arti luas, prinsip debt collection, prinsip universal dan
prinsip teritorial. Prinsip yang tidak dinormakan dalam hukum positif adalah
prinsip debt forgiveness, prinsip fresh-starting, prinsip pembatasan jumlah
minimal utang dan prinsip commercial exit from financial distress.
__________
5 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.25-26.
Sedangkan
prinsip yang dianut secara ambiguitas (mendua) adalah prinsip debt pooling.6
Dalam penjelasan umum UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU juga
dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:
i. Pertama,
untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam jangka waktu yang sama
ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor;
ii. Kedua,
untuk menghindari adanya Kreditor pemegang Hak Jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang miliki Debitor tanpa memperhatikan
kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya;
iii. Ketiga,
untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
seorang Kreditor atau Debitor sendiri.
Ketiga
hal tersebut yang merupakan tujuan dibentuknya UU No.37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang adalah produk hukum
nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan pembangunan hukum masyarakat.7
2. Syarat Insolvensi Berdasarkan Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004
Salah
satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU agar seorang
Debitor dapat dimohonkan untuk dipailitkan adalah selain Debitor memiliki dua
atau lebih Kreditor juga cukup apabila satu utang kepada salah satu Kreditornya
telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sama sekali tidak dipersyaratkan bahwa
Debitor telah dalam keadaan insolven.
Menurut Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU bahkan perbedaan besarnya jumlah
utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi
dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. Permohonan pernyataan pailit dapat
diajukan terhadap perusahaan yang masih solven.8 Debitor telah
berada dalam keadaan Insolven hanya apabila jumlah nilai kewajibannya
(utangnya) telah lebih besar daripada nilai asetnya (harta kekayaannya). Keadaan
demikian disebut balance sheet insolvency
__________
6 Andriani
Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, (Bandung:PT.
Alumni, 2012), hal. 183.
7 Sutan
Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami UndangUndang
No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran,
(Jakarta:Prenadamedia Group, 2016), hal. 9.
8 Ibid., hal.138. 10 Ibid.,hal.129.
Balance sheet insolvency
dilawankan dengan cash-flow insolvency, yaitu keadaan keuangan Debitor yang
tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar utangnya pada saat telah
jatuh tempo karena arus pemasukan (cash
flow) Debitur lebih kecil daripada arus pengeluarannya (cash outflow) sekalipun nilai asetnya
masih lebih besar daripada nilai kewajibannya (belum mengalami balance sheet insolvency).9
Adapun pasal 178 ayat
(1) UUK-PKPU mengatakan: Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan
rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau
pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.
Penjelasan terkait
Insolvensi dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK-PKPU bahwa
yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu membayar. Sehingga
terminologi yuridis “insolven” dalam tahap pemberesan pailit seperti yang ada
dalam UUK-PKPU memiliki makna khusus dibandingkan dengan makna “insolven”
secara umum. Insolven secara umum merupakan keadaan suatu perusahaan yang
kondisi aktivanya lebih kecil dari pasivanya. Hal ini biasa disebut sebagai technical insolvency. Sedangkan insolven
dalam tahap pemberesan kepailitan adalah satu tahap di mana akan terjadi jika
tidak terjadi suatu perdamaian sampai dihomologasi dan tahap ini akan dilakukan
suatu pemberesan terhadap harta pailit. Konsekuensi yuridis dari insolven
debitor pailit adalah harta pailit akan segera dilakukan pemberesan oleh
kurator.10 Undang-Undang Kepailitan di Indonesia belum mengenal
adanya instrument insolvensi tes. Insolvensi tes (insolvency test) adalah audit keuangan atau financial audit yang dilakukan suatu kantor akuntan publik yang
independen untuk menentukan apakah keadaan keuangan debitor yang dimohonkan
pailit memang sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya atau
dengan kata lain debitor telah dalam keadaan insolven.11
B.
Prinsip Commercial Exit From Financial Distress dalam Kepailitan Perseroan
Terbatas
Pengertian Financial
Distress dan Kebangkrutan Perseroan Terbatas
Perkembangan
perekonomian modern yang terjadi di Indonesia semakin lama semakin meningkat
secara signifikan. Perkembangan ini mengakibatkan adanya tuntutan bagi
perusahaan untuk mengembangkan inovasi serta melakukan perluasan agar mampu
bersaing. Perusahaan yang tidak mampu bersaing akan mengalami kebangkrutan,
sebelum terjadi kebangkrutan, perusahaan akan mengalami financial distress
(kesulitan keuangan).12
__________
10 M. Hadi
Shubhan, Op.Cit., hal.144.
11 Wawan
Kennardi, Tinjauan Yuridis Ekonomi Kebutuhan Tes Insolvensi (Insolvency Test)
Pada Permohonan Kepailitan di Indonesia dan Kemungkinan Penerapannya, Tesis,
(Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hal.50.
12 Amelia
Fatmawati, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Financial Distress (Studi Pada
Perusahaan Manufaktur di BEI), Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol.6, No.10,
(Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya, 2017), hal. 2.
Financial distress
adalah suatu kondisi dimana perusahaan sedang menghadapi masalah kesulitan
keuangan. Financial distress didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi
keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi yang
tergambar dari ketidakmampuan perusahaan atau tidak tersedianya suatu dana
untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo.13 Salah satu
indikator untuk melihat Financial Distress menurut Ross & Westerfield dalam
buku Corporate Finance, Financial Leverage adalah leverage perusahaan
(penggunaan aset dan sumber dana oleh perusahaan untuk meningkatkan
keuntungan), yaitu tingkat di mana perusahan bergantung kepada pembiayaan
dengan hutang daripada modal (equity). Semakin banyak perusahaan memiliki
hutang, maka kemungkinan besar perusahaan akan tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajiban kontraktual. Dengan kata lain, terlalu banyak hutang dapat
menyebabkan tingginya probabilitas insolvency dan financial distress. 14
Kesulitan keuangan suatu perusahaan bisa terjadi bermacam-macam tipe. Dalam
teori keuangan perusahaan yang lazim dikenal pada manajemen keuangan membedakan
kesulitan keuangan perusahaan menjadi:15
a.
Economic Failure Kondisi pendapatan
perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang
mengalami economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor
berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima
tingkat pengembalian (return) di bawah tingkat bunga pasar.
b.
Business Failure Istilah ini digunakan
oleh Dun & Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic,
untuk mendefinisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian
bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan sebagai
gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat
menghentikan/ menutup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.
c.
Technical Insolvency Sebuah perusahaan
dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo.
Technical insolvency ini mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang
sifatnya sementara di mana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang
untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak, apabila technical insolvency
ini merupakan gejala awal dari economic failure, maka hal ini merupakan tanda
ke arah bencana keuangan (financial disaster).
d. Insolvency
in Bankruptcy Kondisi bilamana buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar
dari aset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius bila
dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan
pertanda dari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.
__________
13 Mitha
Christina Ginting, Pengaruh Current Ratio dan Debt to Equity Ratio (DER)
Terhadap Financial Distress pada Perusahaan Property & Real Estate di Bursa
Efek Indonesia, Jurnal Manajemen, Vol.3 No.2, (Universitas Methodist Indonesia,
2017), hal. 38.
14 Ahmad
Hanin Fatah, Penyebab Financial Distress di PT.Petrowidada, Tesis, (Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002),
hal. 13.
15 M. Hadi
Shubhan, Op.Cit., hal. 54.
e. Legal
Bankruptcy Keadaan dimana perusahaan telah mengajukan klaim kebangkrutan sesuai
dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Putusan pailit yang dijatuhkan oleh
pengadilan adalah contohnya.
Altman
menggunakan model statistik Multiple Discriminant Analysis (MDA), yakni Z-Score
model yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan bangkrut dan tidak
bangkrut dengan mengkombinasikan lima rasio keuangan. Financial distress dalam
penelitian ini diukur dengan menggunakan rumus Altman Z-Score, dengan model
sebagai berikut:16
Z
= 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5
Keterangan
:
X1
= Modal kerja/Total Aset. X2 = Laba ditahan/Total Aset. X3 = Laba sebelum bunga
dan pajak/Total Aset. X4 = Ekuitas pemegang saham/Total Kewajiban. X5 =
Penjualan/Total Aset
Singkatnya,
dampak financial distress adalah dapat membawa perusahaan mengalami kesulitan
dalam membayarkan kewajiban yang ditanggung. Menurut Anggarini, perusahaan yang
mengalami financial distress (kesulitan keuangan) akan menghadapi kondisi:17
a.
Tidak mampu memenuhi jadwal atau
kegagalan pembayaran kembali hutang yang sudah jatuh tempo kepada kreditor.
b. Perusahaan
dalam kondisi tidak solvable (insolvency)
Kebangkrutan adalah suatu keadaan
perusahaan yang mengalami deteriosasi adaptasi perusahaan dengan lingkungannya
yang sampai membawa akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu
yang berkelanjutan yang pada akhirnya menjadikan perusahaan tersebut kehilangan
sumber daya dan dana yang dimiliki sebagai akibat dari gagalnya perusahaan
melakukan pertukaran yang sehat antara keluaran (output) yang dihasilkan dengan
masukan (input) baru yang harus diperoleh. Pada prinsipnya, Perseroan Terbatas
yang mengalami kebangkrutan maka hanya memiliki dua pilihan jalan keluar yakni
pembubaran perusahaan yang didalamnya terdapat alternatif kepailitan ataukah
dilakukan turnaround untuk melakukan recovery perusahaan.18
__________
16 Rice, Altman Z-Score: Mendeteksi Financial
Distress, Jurnal Wira Ekonomi Mikroskill Vol.5, No.02, Oktober 2015, hal. 112.
17 Chalendra Prasetya Agusti, Analisis Faktor Yang
Mempengaruhi Kemungkinan Terjadinya Financial Distress, Skripsi, (Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, 2013), hal.22
18 M.Hadi
Shubhan, Op.Cit., hal.50.
Kepailitan
bagi perseroan terbatas tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas
tersebut berhenti melakukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis
berhenti melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan
perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris,
dan direktur. Semua kewenangan tiga organ perseroan tersebut beralih kepada
kurator sepanjang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan saja. Hal ini
berarti di dalam kewenangan kurator tercakup semua kewenangan organ perseroan
terbatas. Ketentuan kepailitan di Indonesia memungkinkan perseroan yang sudah
dinyatakan pailit untuk tetap melanjutkan usahanya (on going concern). dalam
kepailitan dimungkinkan perusahaan untuk tetap melanjutkan kegiatan usahanya,
hanya saja dalam hal ini Kurator yang berwenang menjalankannya.19 Dengan
masih tetapnya eksistensi badan usaha perseroan dalam pailit, maka dimungkinkan
going concern dari usaha perseroan ini.
3. Prinsip Commercial
Exit From Financial Distress Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia Prinsip
commercial exit from financial distress dari kepailitan memberikan makna bahwa
kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang
sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru
digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. Kemudahan
untuk mempailitkan suatu debitor sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip
ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks penyelesaian
utang karena adanya kesulitan financial dari usaha debitor. Prinsip commercial
exit from financial distress merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan
perseroan terbatas. M.Hadi Shubhan mengutip pendapat Ricardo Simanjuntak yang
menyatakan bahwa kepailitan khususnya corporate insolvency sebenarnya merupakan
exit from financial distress, jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan
yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan. Prinsip
commercial exit from financial distress tidak dianut oleh ketentuan kepailitan
di Indonesia. Prinsip yang dianut dalam UUK-PKPU adalah kemudahan untuk
mempailitkan subjek hukum yang berkaitan dengan debt collective proceeding.
Kemudahan dalam mempailitkan suatu badan hukum bukan dalam konteks untuk
mempercepat proses kepailitan terhadap badan hukum yang memang sudah seharusnya
demikian. Proposisi ini terlihat dari ditentukannya syarat materiil untuk
mempailitkan subjek hukum, yakni mempunyai dua atau lebih kreditor serta salah
satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Prinsip kemudahan
mempailitkan tersebut bahkan ditambah lagi dengan ketentuan pembuktian yang
sederhana.20
__________
20 Ibid. hal. 196.
C.
Analisis Yuridis Penerapan Prinsip
Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT.Mandala
Airlines
1. Kasus Posisi
PT.Mandala Airlines
PT.Mandala Airlines
adalah perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang angkutan udara yang
dipimpin oleh Paul Rombeek selaku Presiden Direktur yang pada tanggal 9
Desember 2014 mengajukan permohonan pailit atas perseroannya (voluntary petition of self bankruptcy)
melalui kuasa hukumnya dari kantor Jakarta Legal Group dengan ditandatanganinya
surat kuasa tertanggal 6 November 2014. Dalil Permohonan pailit PT.Mandala
Airlines adalah karena mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut akibat
mengalami pasang surut dan berulang kali menghadapi kesulitan-kesulitan
keuangan mengingat begitu ketatnya persaingan di Indonesia.21
PT.Mandala Airlines
sebelumnya pernah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) melalui Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk
melakukan restrukturisasi atas utang-utangnya kepada kreditor pada itu dan
dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No.
01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 17 Januari 2011 jo. Putusan Mahkamah
Agung No.070/PK/Pdt.Sus/2011 tanggal 20 Juli 2011. Kesulitan keuangan tersebut
tercermin dalam laporan keuangan per tanggal 31 Desember 2013 yang telah
diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Purwantono, Suherman & Surja.22 Adapun
hal-hal yang menyebabkan kesulitan keuangan antara lain: Biaya yang besar yang
timbul untuk perawatan (maintenance) pesawat-pesawat milik pihak ketiga yang
digunakan oleh Mandala Airlines berdasarkan perjanjian leasing; Kenaikan tajam
biaya pembelian bahan bakar pesawat sejak tahun 2008 sampai dengan 2014;
Infrastruktur airport yang belum memadai untuk menyokong operasi penerbangan
domestic yang berkesinambungan; Slot yang terbatas pada bandar udara yang
kemudian membatasi skala operasi ekonomi perusahaan; Penumpukan biaya-biaya
operasional yang terakumulasi dalam waktu yang panjang sehingga mencapai jumlah
yang sangat besar; dan Depresiasi mata uang Rupiah terhadap mata uang Dollar
Amerika Serikat, dimana sebagian besar atau hampir seluruh biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh Mandala Airlines sebagaimana disebutkan di atas menggunakan mata
uang Dollar Amerika Serikat. Untuk mengantisipasi kesulitan keuangan tersebut
Mandala Airlines telah telah mengurangi biaya dengan cara mengurangi jumlah
armada dari 9 menjadi hanya 5 pesawat dan berikutnya hingga 4 pesawat dan
mengurangi pengeluaran dengan mensyaratkan bahwa seluruh pengeluaran harus
disetujui oleh 1 pemegang saham. Untuk meningkatkan pendapatan pun, Mandala
Airlines telah mengkombinasikan penerbangan internasional dan domestik serta
memperkenalkan rute yang lebih popular seperti Hongkong ke Denpasar. Namun
ternyata, dengan berlanjutnya over kapasitas di sektor penerbangan Indonesia, Mandala
Airlines terus menghadapi tekanan dari sisi-
_________
21 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,
Putusan Nomor 48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST, hal. 1.
22 Ibid., hal.3.
bisnis dan tidak dapat
meningkatkan pendapatan dibandingkan dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan.
Kerugian terus berlanjut tanpa dapat dihindari, dan sebagai dampak kesulitan
finansial (keuangan) tersebut, PT.Mandala Airlines melakukan penghentian
kegiatan usaha per tanggal 1 Juli 2014 dengan tujuan untuk mengurangi
penambahan beban finansial, karena jika diteruskan maka akan memperburuk
kondisi keuangan perusahaan dengan bertambahnya beban biaya operasional dan
biaya-biaya lainnya. Pengajuan permohonan pailit didasarkan dengan
adanya utang PT.Mandala Airlines kepada kreditor yang telah jatuh waktu dan
belum dibayar.
Majelis Hakim
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 9 Februari
2015 mengabulkan permohonan pailit dengan menyatakan PT.Mandala Airlines Pailit
dengan segala akibat hukumnya serta menunjuk Titik Tejaningsih,S.H. MH Hakim
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai hakim pengawas dan mengangkat
Anthony LP Hutapea S.H.,M.H. sebagai Kurator dalam kepailitan ini.
2. Penerapan Prinsip Commercial Exit From Financial Distress
dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines
Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU tidak mengatur secara lebih lanjut mengenai apabila
permohonan pailit diajukan oleh Debitor yang berbentuk Perseroan Terbatas,
melalui Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan baik di dalam
maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan anggaran dasar dan dalam Pasal 104
ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan:
(1) Direksi
tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada
pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Artinya
permohonan pailit atas Perseroan sendiri hanya dapat diajukan setelah
mendapatkan persetujuan dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Dalam permohonan
pailit PT.Mandala Airlines, pengajuan permohonan pailit tersebut sudah memiliki
landasan hukum yang kuat dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan karena didasarkan dengan Akta No.24 tanggal 11 Agustus 2014
Pernyataan Keputusan Rapat PT.Mandala Airlines yang didalamnya tercatat nama
Paul Rombeek sebagai direktur dan disebutkan bahwa direksi diberi kewenangan
sebanyak 6 (enam) poin, salah satu diantaranya menyetujui pemberian kewenangan
kepada Direksi untuk mengajukan permohonan pailit. Terkait dengan keberatan
yang diajukan oleh Dewan Komisaris terkait legal standing Paul Rombeek selaku
Direksi Perseroan, karena telah terjadi kekosongan jabatan Direksi sejak
tanggal 17 Desember 2014 dimana hal tersebut terjadi sesudah diajukannya
permohonan pailit pada tanggal 09 Desember 2014. Sehingga keputusan Majelis
Hakim yang mengesampingkan keberatan Dewan Komisaris karena Majelis tidak
menemukan satu alat bukti apapun yang dapat melemahkan Akta No.24 tanggal 11
Agustus 2014 sudah tepat. Prinsip commercial
exit from financial distress dari kepailitan merupakan prinsip yang
ditemukan dalam kepailitan Perseroan Terbatas. Prinsip ini memberikan makna
bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang
debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa
kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.
Kepailitan adalah merupakan salah satu pranata hukum untuk melakukan percepatan
likuidasi terhadap subjek hukum yang mengalami kesulitan keuangan yang
menyebabkan utang lebih besar dari aset subjek hukum tersebut. Pada
kasus Permohonan Pailit oleh debitor sendiri, yakni PT.Mandala Airlines,
kepailitan merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran
utang terhadap para kreditornya. Perusahaan yang semula diprediksikan akan
berjalan sesuai dengan business forecasting / planning ternyata dalam
perjalanannya tidak sesuai dengan harapan Karena pada dasarnya prinsip ini
tidak dinormakan dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang adalah dasar aturan pailit di
Indonesia, maka tidak terlihat dalam putusannya Majelis Hakim mempertimbangkan
kemampuan perusahaan apakah masih solven atau tidak meskipun dalam dalilnya
PT.Mandala Airlines berusaha membuktikan bahwa perusahaan sedang dalam kondisi
bangkrut. Sehingga perlu adanya penambahan persyaratan materiil terhadap
pemailitan perseroan terbatas yang diatur dalam ketentuan kepailitan di
Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pembuktian solven atau tidaknya
suatu perusahaan.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pengaturan
hukum kepailitan di Indonesia didasarkan pada sejumlah asas-asas dan
prinsip-prinsip kepailitan. Dimensi keadilan dari proses kepailitan adalah
terletak pada dilindunginya kepentingan dari kedua belah pihak baik para
kreditor mupun debitor. Hal tersebut diwujudkan dengan UndangUndang No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
didasarkan pada asas keseimbangan, asas kelangsungan, asas keadilan, dan asas
integrasi.
2. Prinsip
commercial exit from financial distress yang ditemukan dalam kepailitan
perseroan terbatas adalah jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar
dari persoalan utang piutang yang menghimpit perseroan, diakibatkan perseroan
sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang kepada para
kreditornya. Perseroan terbatas yang mengalami kebangkrutan hanya memiliki dua
pilihan jalan keluar, yakni pembubaran perusahaan yang didalamnya terdapat
alternatif kepailitan ataukah dilakukan recovery perusahaan melalui
reorganisasi. Perseroan yang telah menyelesaikan utang-utangnya melalui
mekanisme kepailitan dapat menata kembali manajemennya, sehingga dapat memulai
usahanya kembali dengan keadaan yang lebih baik (fresh start), dan pada
akhirnya dapat membawa pengaruh positif bagi perekonomian negara.
3. Penerapan
prinsip commercial exit from financial distress dalam Putusan Pailit PT.Mandala
Airlines yang ditetapkan melalui Putusan
No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST diterapkan secara benar dan
konsisten yakni bahwa kepailitan merupakan pranata yang digunakan sebagai jalan
keluar terhadap subjek hukum yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Hal
tersebut dapat dilihat dari dalil utama permohonan pailit PT.Mandala Airlines
yang mengajukan permohonan pailit (voluntary petition) karena telah mengalami
kesulitan finansial yang berlarut-larut (financial distress) akibat ketatnya
persaingan usaha dalam kegiatan angkutan udara niaga di Indonesia. Perusahaan
yang semula diprediksikan akan berjalan sesuai dengan business forecasting /
planning ternyata dalam perjalanannya tidak sesuai dengan harapan. Hal ini
dapat dilihat dari kondisi PT.Mandala Airlines yang sebelumnya telah mengajukan
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dikabulkan melalui Putusan
No. 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST jo. Putusan Mahkamah Agung
No.070/PK/Pdt.Sus/2011 bertujuan untuk melakukan restrukturisasi perusahaan
dengan masuknya investor strategis sebagai salah satu pemegang saham PT.Mandala
Airlines ternyata gagal, karena PT.Mandala Airlines tetap tidak memperoleh
keuntungan setelah PKPU berakhir. PT.Mandala Airlines menjadikan kepailitan
sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium) dan lebih mengedepankan
reorganisasi perusahaan yang merupakan premium remedium (the first resort).
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Subhan, Handi M. Hukum Kepailitan
(Prinsip, Norma & Praktik Dipengadilan). Skripsi. Surabaya: Prenada Mulia.
2017
Agusti, Chalendra Prasetya. Analisis
Faktor Yang Mempengaruhi Kemungkinan Terjadinya Financial Distress. Skripsi.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro. 2013.
Fatah, Ahmad Hanin. Penyebab Financial
Distress di PT.Petrowidada. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2002.
Kennardi, Wawan. Tinjauan Yuridis
Ekonomi Kebutuhan Tes Insolvensi (Insolvency Test) Pada Permohonan Kepailitan
di Indonesia dan Kemungkinan Penerapannya. Tesis. Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2015.
Prasetya, Rudhi. Teori & Praktik
Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis untuk
Perusahaan Teori dan Contoh Kasus. Cet.ke-4. Jakarta: Kencana. 2014.
Shubhan, M.Hadi. Hukum Kepailitan
Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana. 2008.
Sjahdeini, Sutan Remy. Sejarah, Asas,
dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Jakarta:Prenadamedia Group.
2016.
Sunarmi. Hukum Kepailitan. Medan: USU
Press. 2009. Sunarmi. Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia.
Edisi 2. Jakarta: PT.Sofmedia. 2010.
B.
Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia.
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004, LN Nomor 131 Tahun 2004. TLN
No.4443.
Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas. UU No.
40 Tahun 2007. LN Nomor 106 Tahun 2007. TLN No.4756.
Putusan Pengadilan Niaga Nomor
48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST.
C. Jurnal
Fatmawati, Amelia. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Manufaktur di BEI). Jurnal Ilmu dan
Riset Akuntansi Vol.6, No.10, Oktober 2017. ISSN: 2460-0585.
Mantili, Rai. Proses Kepailitan Oleh Debitor Sendiri
Dalam Kajian Hukum Acara Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Jurnal
Hukum Acara Perdata Adhaper Vol.1 No.2, Desember 2015. ISSN 2442-9090.
Rice, Altman Z-Score: Mendeteksi Financial Distress.
Jurnal Wira Ekonomi Mikroskill Vol.5, No.02, Oktober 2015.
D.
Artikel